Wednesday 19 November 2014

Wayang Orang Sriwedari, Nasibmu Kini


Harsini (38) membersihkan goresan pensil alis yang membentuk taring di bawah sudut kiri dan kanan bibir bawahnya. Dengan handuk kecil yang diberi cairan pembersih wajah, Harsini membersihkan seluruh wajah-nya.
Maka hilanglah riasan untuk mempertegas karakter Mbok Emban Kidan Ganti yang baru saja dimainkannya di atas panggung, Rabu (13/10) malam, di Gedung Wayang Orang (WO) Sriwedari, Solo.
Begitulah aktivitas para pemain wayang orang. Setelah tampil gemerlap di atas panggung di balik kostum yang menawan, kembali menjalani realita kehidupan setelah turun panggung.
"Kalau saya, pagi jadi ibu rumah tangga, malam main wayang orang," tutur Iyeng, pemain wayang orang lainnya.
Di tengah kehidupan seni tradisi yang semakin surut seiring perkembangan zaman, pemain wayang orang ini tetap bertahan.
Setiap malam mereka tetap tampil di atas panggung, memainkan lakon untuk menghibur penonton yang jumlahnya kadang bisa dihitung dengan jari. Itu pun kebanyakan penontonnya sudah berusia lanjut.
Harsini menuturkan mulai bermain wayang orang sejak usia 16 tahun, saat dirinya belum lulus sekolah menengah atas. Keterlibatannya dengan wayang orang dipengaruhi keluarga. Ayahnya, Suwardi, seorang pengrawit, dan ibunya, Sartinah, pemain wayang orang yang kemudian menjadi penata rias panggung. Sementara kakeknya, Mbah Sujud, pemain sekaligus sutradara wayang orang juga di Sriwedari. "Yang saya sukai dari bermain wayang orang adalah bisa memainkan berbagai karakter," kata Harsini.
Kini dengan bobot tubuhnya yang mencapai 80 kilogram, Harsini mengaku lebih sering kebagian peran sebagai Mbok Emban. "Saat masih langsing, 49 kilogram, saya bisa bermain bermacam-macam peran," kata Harsini.
Begitu juga dengan Iyeng. Awalnya ia hanya tahu wayang orang melalui tugas sekolah dan kuliahnya di Sekolah Menengah Kariwitan Indonesia Solo (sekarang SMKN 8 Solo) dan Institut Seni Indonesia Surakarta karena ia mengambil jurusan tari. Setelah melamar dan ditempatkan sebagai pemain wayang orang, Iyeng mulai membiasakan diri.
"Dahulu main wayang orang hanya kalau ada tugas sekolah. Itu pun baca naskah. Tiba-tiba harus main wayang orang tiap hari, harus dandan sendiri. Awalnya demam panggung, tapi sekarang sudah biasa. Dandan juga 10 menit rampung," papar Iyeng.
Beruntung Harsini dan Iyeng telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sehingga bisa berkonsentrasi bermain wayang orang dan tidak perlu memikirkan pemasukan dari penjualan tiket.
Tak hanya Harsini dan Iyeng, saat ini hampir semua kru WO Sriwedari yang jumlahnya sekitar 85 orang berstatus PNS. Menurut pimpinan WO Sriwedari, Diwasa, yang belum PNS tinggal 11-13 orang karena kendala batas usia diangkat PNS.
Meskipun demikian, menurut Harsini, orang-orang ini tetap bertahan bermain di WO Sriwedari, walaupun gaji diperoleh jauh berbeda dengan kru lainnya yang berstatus kepegawaian.
Seluruh kru bahu-membahu menghidupi dan hidup bersama pasang surut WO Sriwedari, mempertahankan wayang orang.
Menurut Diwasa, wayang orang atau wayang wong mulai muncul di Solo tahun 1898 dan berkembang di Prang Wedanan, Pura Mangkunegaran. Saat Paku Buwono X menggelar hajatan, pentas wayang orang dipersembahkan Pura Mangkunegaran.
Sejak tahun 1910, pentas wayang orang oleh Paku Buwono X ditempatkan di Kebon Rojo yang kini dikenal sebagai seni yang diperuntukkan bagi rakyat. Tempat ini kemudian dikenal dengan WO Sriwedari, yang tahun ini memasuki usia satu abad. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas 16 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment