Wednesday 19 November 2014

MODAL NEKAT BIKIN PABRIK TAS


Pengalaman hidup yang beragam memperkaya hidup Jumanto (40). Kerasnya hidup yang pernah menghampiri ayah empat anak ini justru membuat Jumanto tidak kenal menyerah dalam berusaha. Pria yang pernah menjadi mekanik di sebuah perusahaan asing eksplorasi tembaga terbesar di Papua ini kini bahagia dengan usaha produksi tas yang dirintisnya sejak tahun 2001.
Jumanto hanya bertahan tiga bulan bekerja di Papua. Ia lalu mundur dan ke Jakarta membuat usaha produksi tas bersama seorang temannya. Mereka ekspor tas ke Brunai Darussalam dan Papua Niugini.
Namun, malang tak dapat ditolak. Usahanya bangkrut karena kiriman tidak sesuai pesanan. Sementara untuk memulangkan ribuan tas yang sudah terkirim butuh biaya besar. Jumanto yang kehabisan modal merelakan barang-barangnya tetap di negara tujuan. Ia bahkan masih harus menanggung utang yang jumlahnya puluhan juta rupiah.
Jumanto sempat menjadi office boy dan petugas kebersihan di Jakarta sebelum akhirnya pulang ke Sragen, tempat kelahiran istrinya, Pertiwi, di Genengsari, Blangu, Gesi, Sragen.
"Saya pulang hanya membawa baju yang melekat di badan," katanya mengenang.
Mental tidak terpuruk
Bersyukur, mentalnya tidak terpuruk kala itu. Dengan pinjaman Rp 1,5 juta dari sang kakak, ia lantas mencoba kembali peruntungannya di dunia pembuatan tas.
"Manusia lahir dalam keadaan telanjang dan bisa bertahan. Masa kita manusia dewasa tidak bisa bertahan saat ada cobaan. Untuk berwirausaha itu yang penting yakin dan berani," ungkap anak pasangan Tarno dan Kinem ini.
Dengan bantuan dua pekerja dan dua mesin jahit sederhana, Jumanto memulai usahanya. Saat itu, hanya 12 buah tas yang mampu diproduksinya per hari.
Jumanto beruntung karena saat itu menjelang tahun ajaran baru sekolah. Tasnya langsung laris manis saat dibawa ke sebuah pasar tradisional di kota Sragen dengan mengendarai sepeda. Produksi selanjutnya juga habis terserap.
Kini dengan 43 pekerja, produksi tasnya sehari mencapai 400-500 buah. Pemasarannya selain di area Pulau Jawa, juga merambah Kalimantan, Papua, Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat.
"Saya juga bisa bayar utang saat bangkrut dulu," tambahnya. Agar produknya tetap digemari pasar, Jumanto rajin mengintip desain tas-tas dari merek yang sudah ternama untuk kemudian dimodifikasi dengan idenya sendiri. Pria yang hobi jalan-jalan ini menyasar pasar tradisional sebagai pasar utamanya karena belum banyak yang bermain di segmen itu.
"Tas itu yang penting rapi dan kuat, orang pasti beli," kata anak kelima dari delapan bersaudara ini.
Itu sebabnya produk tasnya diberi label Daimesstar, artinya kira- kira produk unggulan yang rapi. Daimes dari bahasa Jawa artinya rapi dan star dari bahasa Inggris yang artinya bintang. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 22 April 2008

No comments:

Post a Comment