Wednesday 19 November 2014

PENGUSAHA KOTORAN SAPI


Agus Wiryatmo tidak pernah menyangka protes warga yang dilayangkan kepadanya ternyata menjadi pintu gerbang kesuksesan usahanya.
Agus memiliki usaha peternakan. Bau kotoran yang muncul dari usaha ternaknya menuai protes warga. Agus harus berpikir kreatif agar protes tidak lagi menimpanya. Ia kemudian mengolah kotoran sapi yang menjadi sumber bau sebagai pupuk organik. Ini terjadi tahun 1996.
Kini di bawah bendera CV Ginanjar Subur yang didirikannya, Agus mampu memproduksi pupuk organik dari kotoran sapi 100-200 ton per hari. Pemasarannya hanya dari mulut ke mulut. Namun, ini cukup membuat Agus kewalahan memenuhi permintaan.
Pupuk organiknya ada beberapa macam, yakni "Subur" untuk padi, sayur, dan tanaman perkebunan; "Mekar" untuk tanaman hias; dan pupuk organik cair dari kencing sapi dengan merek "Bumi Subur" dan "Cair Mekar". Ia juga memproduksi media tanam dan pestisida organik yang dibuat dari campuran kencing sapi, tumbuhan, dan biji-bijian dengan merek "Paitan".
Tidak hanya itu, Agus juga menghasilkan probiotik dengan merek "Biosub" yang digunakan sebagai penghilang bau. "Pesanan terbanyak datang dari kota-kota besar, seperti Jakarta dan Semarang. Biosub digunakan untuk menyiram WC sehingga jamban tidak perlu disedot karena kotorannya sudah hancur oleh probiotik," jelasnya, Rabu (9/7).
"Biosub" dibuat dari rumen (bagian terbesar perut) sapi yang mengandung berbagai bakteri yang membantu proses pencernaan. Semua produknya, menurut Agus, telah melewati uji laboratorium di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Selain itu, Agus juga merangkai instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biogas dari plastik berbiaya murah.
Untuk membuat IPAL biogas dengan material bangunan menelan biaya hingga Rp 30 juta. Untuk itu, peternak harus menunggu bantuan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) daerahnya. Agus mampu membuat IPAL yang hanya menghabiskan biaya maksimal Rp 1,5 juta dengan kapasitas 5.000 meter kubik. Dengan modal satu ember kotoran sapi yang diolah di IPAL sederhana tadi dihasilkan biogas yang cukup untuk kebutuhan memasak selama sehari.
Seminggu sekali, pasti ada kelompok tani yang datang ke tempatnya menimba ilmu pertanian organik. Saat Agus bekerja, tugas mengajar pelatihan diambil alih kedua anaknya, Yusuf Agni Wiryatmo dan Ragil Agro Wiryatmo atau anggota kelompok tani "Marsudi Margorahayu" yang sudah berpengalaman pimpinan Agus Wiryatmo. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 15 Juli 2008

No comments:

Post a Comment