Wednesday 19 November 2014

SEMANGAT TUKUL MELESTARIKAN CANTING


Dua gambar canting besar berhadapan menghiasi tembok rumah Sukiman (52) di Kampung Joyotakan, Kelurahan Joyotakan, Kecamatan Serengan, Kota Solo. Di bawahnya tertulis "Canting P Tukul".
Selain sebagai penanda, gambar itu kira-kira sebagai simbol kebanggaan Sukiman yang lebih akrab disapa Tukul sebagai perajin canting. Canting digunakan untuk membatik tulis.
"Sejak kelas IV SD, saya membantu bapak saya membuat canting. Saya generasi kelima keluarga yang membuat canting," tutur Tukul sambil mengipasi bara api, beberapa waktu yang lalu.
Bara api itu untuk membakar canting yang baru saja dipatri dengan campuran kotoran ular, garam, serta leburan kuningan, tembaga, dan timah. Untuk membuat canting butuh proses cukup rumit. Lempengan tembaga dibakar lantas ditempa agar mencapai ketipisan yang diinginkan. Setelah itu digunting sesuai pola canting, dibentuk, lalu dipasang cucuk atau pipa kecil berlubang untuk keluarnya lilin, dipatri, dibakar, dicuci, digoreng, dipasang ke pegangan kayu, lantas ditekuk ujung pipanya.
Untuk memproduksi canting, Tukul dibantu istri, dua anak lelakinya, dan seorang adiknya. Canting produksi Tukul yang dijual Rp 1.500 per buah dan diproduksi sesuai pesanan pembeli dari Solo, Yogyakarta, dan Bali. Dalam sehari, mereka bisa membuat 300-400 buah canting.
"Dalam dua minggu, minimal kami dapat pesanan 1.500-2.000 canting," kata suami dari Suyamti (49) ini.
Naik daunnya batik membuat pesanan canting meningkat, yang dirasakan sebagai pesanan selalu saja ada. "Dulu pesanan tidak mesti, kadang ada, kadang tidak. Sekarang stabil," tambah Tukul.
Dari hasil membuat canting, Tukul mampu menghidupi istri dan kelima anaknya. Seluruh anaknya, ia sekolahkan hingga jenjang sekolah menengah atas. Rumahnya pun cukup mentereng di kampungnya dengan lantai keramik dan perabot lengkap.
Saat ini, Tukul merasa tinggal ia satu-satunya perajin canting di Kota Bengawan. Saat ia kanak-kanak, tidak kurang ada 10 perajin canting di Kota Solo. Dua tahun lalu, masih tersisa dua perajin lainnya. "Saat mereka meninggal, usahanya ikut ditutup karena anak- anaknya tidak ada yang meneruskan pembuatan canting karena menjadi pegawai," kata Tukul.
Ia sendiri kini telah mewarisi pengetahuan membuat canting kepada dua anak lelakinya, Catur Hananto (28) dan Wawan Indriyanto (30). Keduanya juga telah menyatakan kesediaannya meneruskan usaha sang ayah.
Tukul tidak pernah bekerja lain selain membuat canting. Ia hanya pernah tiga bulan menjadi kernet saat krisis ekonomi tahun 1998. "Setelah itu dimodali lagi oleh anak saya untuk membuat canting. Selain karena membuat canting satu-satunya kebisaan saya, saya juga ingin nguri-uri warisan mbah-mbah saya," kata Tukul. 

Tulisanku  seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 10 Maret 2009

No comments:

Post a Comment