Wednesday 19 November 2014

KEUNIKAN BATIK SRAGEN


Wahid Al Amin (28) awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha batik. Kuliahnya saja di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Ia juga menekuni teknisi komputer dengan belajar di program D3 Analis Komputer. Namun, lingkungan yang mengasahnya lebih berpengaruh membentuk jiwa wirausaha yang terpendam di dalam dirinya.
Wahid dibesarkan di tengah keluarga yang mengandalkan penghidupan dari membuat batik. Usaha batik dirintis ayah dan ibunya, Sartono (58) dan Mubarokah (48), pada tahun 1985 dengan mengerjakan pesanan dari pengusaha batik di Kota Solo dan menggarapnya di rumah mereka di Dusun Pilang Tengah, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.
Lama-kelamaan keluarga ini memiliki usaha batik yang lebih mandiri dengan memasarkan produk-produk mereka di bawah bendera Batik Abimanyu. Tonggak bersejarah usaha keluarga ini terjadi pada tahun 1992.
Meski awalnya mengerjakan pesanan, para perajin batik di Sragen pada umumnya tetap menampakkan ciri khas batik mereka, yakni warna yang terkesan lebih pudar dibanding batik Solo. Di sisi lain, warna yang lebih berani dibanding batik Solo juga muncul dari produk batik Sragen, seperti biru, hijau, atau merah.
Batik keluarga
Wahid mulai terjun lebih serius ke usaha batik keluarganya tahun 1998. Waktu itu ia lebih berfokus untuk menangani aspek pewarnaan dan pemasaran. Wahid baru terjun total mengelola usaha batik keluarga setelah menikah pada tahun 2002. Ia bersama sang istri, Yuanita Supriani (28), kini bahu-membahu mengembangkan usaha batik mereka.
Setelah dipercaya mengelola penuh usaha Batik Abimanyu, ia tertantang untuk lebih mengembangkan usaha.
Tidak lagi ingin sekadar mengerjakan pesanan yang kebanyakan kain panjang dan sarung, Wahid kemudian membuat diversifikasi produk, antara lain kemeja, kaus, dan baju batik yang kemudian dipasarkan sendiri.
Kini produk batiknya tidak hanya dikirimkan ke Kota Solo, melainkan sudah merambah kota-kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera. Ia juga kerap mendapat pesanan seragam batik dari kota-kota di Sulawesi. Omzet usahanya per bulan Rp 50 juta-Rp 70 juta. Omzetnya bisa mencapai Rp 100 juta-Rp 150 juta bila pesanan seragam sedang memuncak.
Produk Batik Abimanyu dibuat dengan teknik cabut dan tulis atau campuran keduanya. Teknik cabut serupa dengan teknik sablon. Agar mempunyai ciri khas, ia mengembangkan sendiri motif-motif batiknya berdasarkan motif pakem yang kemudian dimodifikasi. Ide pengembangan motif tidak jarang ia peroleh dengan cara menjelajah ke dunia maya.
"Sebanyak 80 persen motif batik kami, dibuat sendiri," jelas Wahid pekan lalu.
Obsesinya setelah ini adalah membuat situs khusus untuk memamerkan produk batiknya agar lebih dikenal khalayak dan membuka pemasaran lebih luas. 

Tulisanku seperti termuat di  Kompas (Jawa Tengah) 15 April 2008

No comments:

Post a Comment