Wednesday 19 November 2014

AYAH SERING MENGAJAK KAMI MERAMPOK...


 Awal pekan ini, masyarakat Surakarta dikejutkan dengan tertangkapnya gembong perampok yang beroperasi di berbagai daerah di Jawa dan Bali, yang selama ini membuat resah masyarakat. Tersangka perampok ini dikenal sebagai spesialis merampok emas dan nasabah bank, yang tidak segan-segan membunuh korban atau orang yang menghalanginya. Gembong perampok itu adalah Sugianto (60) alias Sugi alias Pakdhe alias Pake. Sugi ditangkap di rumah kontrakannya di Jalan Kendal Growong, Muntilan, Magelang, Jumat (25/3). Penangkapan ini berdasarkan informasi dari anak perempuan pertamanya, Ita Rosita, yang sehari sebelumnya ditangkap di rumahnya di Kediri, Jawa Timur. Menurut Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta Komisaris Besar Abdul Madjid, Sugi kerap mengajak anak-anak perempuannya untuk membantunya dalam beraksi. Sang anak disuruhnya mengantar gembong perampok itu ke lokasi perampokan. Ita yang ditemui di tahanan Kepolisian Wilayah Surakarta, Rabu (30/3/2005), mengaku, ia pernah tiga kali disuruh mengantarkan bapaknya ke tiga tempat yang kemudian diketahui menjadi lokasi perampokan yang menghebohkan, yakni Goro Assalaam, Sragen, dan PKU Muhammadiyah. Dengan demikian, keterangan Ita ini menjadi pintu bagi kepolisian untuk mengungkap dua kasus besar yang hingga kini masih misterius, yakni perampokan di dekat PKU dan Goro Assalaam beberapa tahun lalu yang menimbulkan korban tewas. Kasus perampokan yang berlangsung di PKU Muhammadiyah menewaskan sopir kantor PDAM yang membawa gaji karyawan serta tiga orang lainnya, termasuk petugas polisi yang mengawalnya. Diperkirakan, pelakunya adalah empat perampok yang menggunakan sepeda motor. Menurut Ita, saat itu ia hanya disuruh mengendarai mobil Suzuki Espass untuk mengantar Sugi dan seorang rekannya ke PKU. "Habis itu saya tidak tahu bapak ke mana, dia terus dijemput oleh temannya dengan sepeda motor," kata Ita. Sugi memiliki lima anak yang seluruhnya perempuan. Ita adalah salah satu anaknya yang sering dimanfaatkannya saat beraksi. Menurut Ita yang berpenampilan gempal dengan rambut sebatas leher dan mempunyai seorang anak berusia delapan tahun, ia kadang-kadang pulang dari Kediri untuk menengok orangtuanya yang kala itu masih mengontrak di Colomadu, Sukoharjo. Ita sendiri sejak kecil tinggal dengan neneknya di Kediri. Empat adiknya yang lain tinggal bersama orangtua mereka. "Saat saya pulang itu, bapak menyuruh saya untuk mengantarnya," kata Ita sambil menatap kakinya yang pada bagian ujungnya dihiasi cat kuku berwarna gelap, Rabu kemarin. Menurut Ita, selama ini bapaknya ia kenal berprofesi sebagai makelar motor. Sedang sang ibu menjalankan warung kelontong dan kini masih tinggal di rumah kontrakannya di Muntilan yang ditempati sejak dua tahun lalu. "Orangtua tidak punya rumah, jadi sering pindah-pindah kontrakan," jelasnya. Ita sering menyaksikan, bapaknya dikunjungi beberapa orang temannya. Pada beberapa kesempatan, mereka akan keluar bersama-sama dalam waktu yang lama. "Mereka pergi siang hari, nggak tahu kemana," katanya. Ditambahkannya, dia tidak pernah meminta uang bagian kepada ayahnya. "Saya nggak pernah minta bagian. Saya kalau minta uang sama ibu, Rp 200.000 atau Rp 300.000 buat jajan," jelasnya. *** ITA mengaku menyesal dan malu terhadap kasus ini. Ia mengkhawatirkan nasib anaknya yang tinggal di Kediri mengingat ia juga sudah berpisah dari suami beberapa tahun lalu. Selain melibatkan Ita, Sugi juga mengajak salah satu menantunya, Dodi, yang beberapa tahun lalu tewas dikeroyok massa usai tertangkap merampok di sebuah daerah di Jawa Timur. Istri Dodi, Vita, kini tinggal bersama Ita. Dari hasil penyidikan polisi, ada 12 daerah yang dipastikan pernah dijadikan Sugi sebagai sasaran perampokan berdarah dingin, antara lain di Sragen, Karanganyar, Solo, Kediri, Tulungagung, Probolinggo, Wonogiri, Magelang, Yogyakarta, Kendal, dan Pekalongan. Beberapa di antaranya menyebabkan korban tewas. Sugi sendiri berpenampilan tenang dan cenderung murah senyum dengan hiasan rambut yang mulai memutih. Ia jarang menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, termasuk mengapa tega melibatkan anaknya dalam aksi perampokan yang didalanginya. Namun, saat seorang petugas kepolisian mendatanginya untuk memotretnya, ia memasang wajah dengan senyum terkembang. Tidak ada tanda penyesalan atau tertekan di wajahnya. Ia sempat menitipkan satu botol berisi satu liter air mineral dingin agar diberikan kepada Ita. Sugi saat ini berada dalam tahanan Polwil Surakarta dan berada satu ruangan bersama Timotius Tri Sabarno, tersangka penipuan dan penggelapan uang miliaran rupiah. Hingga kini, Sugi masih diperiksa intensif. Dalam keterangannya kepada penyidik, Sugi mengakui tiga kasus perampokan yang pernah dilakukannya secara langsung, yakni perampokan di sebuah penggilingan padi di Masaran, Sragen tahun 2003 dengan kerugian Rp 160 juta dan seorang korban tewas, perampokan bersenjata di dekat PT Puspitasari di Ceper, Klaten dengan kerugian Rp 44 juta, dan perampokan di Pasar Bunder, Sragen, dengan kerugian Rp 33 juta. Kepala Polwil Surakarta mengatakan, Sugi adalah bos Herlambang, kelompok perampok yang sering beraksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta baru saja ditangkap Polda Jawa Tengah, pekan lalu, di Sukoharjo. Selain menangkap Sugi dan Ita, Polwil Surakarta juga telah menangkap Jiing di Salatiga yang masih terkait erat dengan kelompok Sugi. Sugi juga diperkirakan terkait dengan kelompok Taufik dan Promek di Jawa Timur. Sejauh ini, Sugi mengaku menjadi konseptor dalam setiap aksi. Ia merencanakan, menentukan sasaran, dan modus. Hanya tiga tempat yang ia akui turun langsung ikut merampok, yakni dua tempat di Sragen dan satu di Klaten. Dengan tertangkapnya Sugi, seperti disampaikan Kepala Kepolisian Polisi Daerah Jawa Tengah Irjen Chaerul Rasjid, paling tidak 20-25 kasus perampokan besar yang pernah terjadi akan bisa terungkap. Kita tunggu hasil penyidikan polisi selanjutnya. Bila memang Sugianto terlibat sedikitnya 25 kasus perampokan, polisi kali ini benar-benar mendapat perampok kelas kakap!

Tulisanku seperti termuat  di Kompas (Jawa Tengah)  31 Maret 2005

BESTIK LIDAH YANG BIKIN GOYANG LIDAH

Rinai hujan baru saja membasahi jalanan kota Solo, Sabtu (18/3) petang. Rasanya itu tidak menghalangi niat mencari tempat yang menyajikan masakan olahan lidah sapi kegemaran kami. Tempat itu kami temukan di Jalan Dokter Rajiman.
Harjo Bestik. Tulisan berwarna merah pada spanduk putih di bagian depan warung kaki lima itu sepintas biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bagi sebagian besar penggemar steak, warung ini mungkin tak ubahnya warung steak kaki lima yang menjamur di kota-kota besar.
Namun, sekali menyimak daftar menu yang ditawarkan Harjo Bestik, niscaya kita akan tercengang. Aneka menu bestik seperti bestik telon yang terdiri dari tiga jenis daging sesuai pilihan pembeli, bestik uritan (calon telur ayam), bestik brutu, dan bestik dadar lidah adalah sejumlah menu bestik yang ditawarkan. Sungguh tawaran yang tidak biasa.
Malam itu kami memesan masing-masing seporsi bestik campur dan bestik dadar lidah, serta dua piring nasi putih. Begitulah adat di warung makan kaki lima ini, makan bestik ditemani nasi putih. Tidak lupa segelas es jeruk dan wedang cokelat turut dipesan.
Lebih kurang 30 menit pesanan kami tiba. Kepulan asap menebar harum aroma kuah bestik yang segera merangsang pencernaan kami. Sekali menyendok bestik ini rasanya sukar berhenti karena keempukan daging maupun lidah sapi yang berpadu dengan kesegaran kuah bestiknya.
"Sejak dahulu, kakek saya, Mbah Harjo, pendiri warung ini, sudah memasak bestik seperti ini. Bestik dengan kuah banyak atau nyemek dalam istilah orang Jawa," ujar Mujiyati (40), generasi ketiga Harjo Bestik, saat ditemui Sabtu malam itu.
Bukan hanya kecakapan Mbah Harjo yang membuat bestik ini lekat dengan lidah orang Jawa, tetapi juga keahlian Mbah Harjo dalam mengkreasikan aneka organ tubuh ayam maupun sapi untuk diolah dalam kuah bestiknya.
"Elek-elekan"
Satu porsi bestik lidah terdiri atas lima potongan lidah sapi bersanding dengan irisan kentang, wortel, selada hijau, tomat, acar timun, dan mayones atau moster. Kuah kecoklatan yang meredam lidah dan aneka sayuran itu diolah dari tumisan mentega, bawang merah, bawang bombai, ditambah kuah kaldu ayam, kecap manis dan asin, garam, serta merica.
Untuk bestik campur, penyajiannya hampir serupa denganbestik lidah hanya ditambah daging sapi cacah. Sementara untuk bestik dadar lidah, pembeli dapat menikmati potongan lidah sapi yang terbungkus dalam telur dadar goreng terendam dalam kuah bestik.
Keempukan lidah sapi di Harjo Bestik tidak terlepas dari lamanya waktu pemasakan lidah. Mujiyati senantiasa merebus lidah sapi selama empat jam agar empuk. Saat akan dimasak sebagai bestik, lidah itu kemudian dipotong-potong kecil dan dicampur dengan tumisan bumbu kuah bestik.
"Menu favorit pengunjung adalah bestik lidah. Akan tetapi, kami juga masih memiliki menu favorit lain seperti risoles kuah, elek- elekan, dan bakmi," ujar Mujiyati.
Mendengar menu elek-elekan (bahasa Jawa dari kata jelek-jelekan), kening kami sempat berkerut. Rasa-rasanya dari sekian menu yang tercantum dalam daftar menu Harjo Bestik, nama ini tidak kami temui. Setelah kami tanyakan menu ini kepada Mujiyati, sontak kami langsung tertawa mendengar penjelasannya.
Menurut Mujiyati, elek-elekan adalah menu yang diciptakan dari bonggol lidah sapi yang tidak terpakai di bestik. Awalnya, bonggol- bonggol lidah sapi itu digoreng Mujiyati untuk disantapnya sendiri bersama sambal kecap atau sambal bawang ditemani nasi putih.
Ia tidak pernah menawari menu ini secara terang-terangan karena dinilai kurang layak disandingkan dengan menu bestik di warungnya. Suatu ketika, seorang pelanggan melihat gorengan bonggol lidah sapi itu dan tertarik mencoba.
"Sejak saat itu, jika pelanggan itu datang, ia tak lupa memesan elek-elekan lengkap dengan sambal kecapnya. Lama kelamaan pelanggan yang lain tahu tentang elek-elekan dan turut memesan," tuturnya.
Meski elek-elekan sudah punya banyak penggemar, Mujiyati tetap tidak mau mencantumkan menu itu dalam daftar menu Harjo Bestik. Baginya, promosi elek-elekan cukup dari mulut ke mulut saja.
Bercampur harum bunga
Menyantap bestik di warung kaki lima di Jalan Dokter Rajiman dan dekat dengan Pasar Kembang ini terasa istimewa. Kuah bestik jowo sesekali berpadu dengan harum bunga yang dijual di Pasar Kembang. Suasana jalanan dan wajah kota Solo yang tak pernah tidur juga bisa dinikmati di warung yang telah berusia lebih kurang 60 tahun ini, yang menurut Mujiyati dimulai Mbah Harjo sejak menjelang perang kemerdekaan Indonesia.
Untuk menikmati aneka bestik jawa khas Solo ini cukup membayar Rp 9.000-Rp 13.000 per porsi. Warung bestik kaki lima ini buka setiap hari dari pukul 18.00 hingga 00.30. Selain bestik, juga ditawarkan menu lain seperti bakmi, kamar bola, nasi goreng krukup, dan banyak menu lain.
Warung ini dikunjungi orang dari berbagai lapisan. Mereka menikmati santapan menu bestik favoritnya di atas bangku kayu panjang sambil menikmati suasana malam kota Solo.
Tidak terasa, jam di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul 21.30. Dengan berat hati, tetapi perut kenyang, kami meninggalkan Harjo Bestik beserta segala suasana kekhasan warung kaki limanya. Tentu saja, sebagai penggemar lidah sapi, terbit rasa mengganjal di hati kami karena belum mencicipi elek-elekan. Suatu waktu kami pasti kembali....

Tulisanku dan Komang Arianti seperti termuat di Kompas, 2 April 2006

APA ITU RUWATAN KUDA?


RINTIK hujan turun mengiringi pemilik kuda yang berdesakan dengan masyarakat, berebutan air ruwatan untuk diraupkan ke wajah mereka. Meski langit tetap terang, makin lama hujan makin deras mengawal pelaksanaan puncak upacara Suryo Jawi, yakni ruwatan kuda dan pemiliknya di lereng Gunung Lawu, Kamis (17/2).
Pangkal cemeti oleh pemimpin ruwatan, Ki Dalang Romo G Tundjungseto, dicelupkan ke dalam bejana berisi air kembang. Dalang membisikkan sesuatu kepada pemilik kuda lantas memberikan cemeti dan sebuah amplop putih, lalu mengusapkan air kembang ke pangkal hidung kuda.
Usai kuda ke-136, hujan yang tadinya turun deras lantas reda begitu saja. Bagi masyarakat, hujan deras itu menjadi simbol datangnya rezeki yang banyak di hari-hari mendatang.
Lancarnya rezeki ditambah keselamatan dalam kehidupan sehari- hari adalah tujuan pemilik kuda yang tergabung dalam Paguyuban Turangga Karya Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, yang mengikuti ruwatan.
Tak beda dari ruwatan biasanya, ruwatan kuda dan pemiliknya mengikuti beberapa proses, antara lain menyimak pergelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala yang berisi cerita perjalanan Bethara Kala.
Sebelumnya, rombongan kuda dan pemiliknya berjalan dalam rombongan dari daerah Pancot, sekitar 500 meter dari lokasi ruwatan di Camping Ground Lawu Resort, didahului kelompok reog dan seorang yang berpakaian seperti Gatotkaca.
Dalam jagad budaya Jawa, ruwatan biasa dilakukan untuk menghindari kejadian buruk. Sebagian masyarakat Jawa mempercayai, ada orang yang lahir dengan menyandang takdir buruk yang disebut sukerta dan sengkala.
Dalam Serat Centhini disebutkan ada 19 macam sukerta. Sedang dalam Serat Manikmaya ada 60 macam sukerta, serta Serat Murwakala menyebut 147 macam sukerta.
Tak hanya itu, sukerta juga bisa disebabkan perilaku manusia, antara lain menggulingkan dandang saat menanak nasi, tak mau beristirahat saat berjalan sendirian tepat tengah hari, atau tidak menyatukan dan mengikat serutan bambu usai menyisiknya.
Ruwatan acapkali lekat dengan kesan mistis atau klenik. Pengamat budaya dari Padepokan Lemah Putih Solo Suprapto Suryodarmo yang hadir dalam acara ini punya pandangan sendiri.
Menurutnya, ruwatan dapat dipandang sebagai bagian dari menyelaraskan diri dengan alam. "Ruwatan itu agar diselaraskan dengan alam. Orang zaman sekarang semakin sulit untuk memahami alam," jelasnya lagi. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 11 Februari 2005

AMIN SENANG JADI RAJA KECIL

Lebih baik jadi raja kecil daripada jadi budak besar. Begitu prinsip M Al Amin (34). Tidak seperti sarjana lainnya yang giat mencari kerja sebagai pegawai, anak keempat dari lima bersaudara ini justru banting setir menjadi pedagang begitu lulus sebagai sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
"Saya sempat bekerja jadi konsultan bisnis dan asisten dosen. Mau terjun bisnis langsung agak sulit. Saya perlu pengalaman bekerja di perusahaan," jelas Amin, pekan lalu.
Tahun 1999, berbekal modal yang dikumpulkan semasa bekerja menjadi karyawan, Amin akhirnya memberanikan diri memulai bisnisnya kecil-kecilan. "Awalnya hanya berdagang kaus, saya ambil dari pasar, lalu saya tawarkan ke teman dan kenalan yang punya acara besar dan butuh kaus banyak," papar ayah dua anak ini.
Modal awalnya saat itu Rp 2 juta. Tiga tahun kemudian, Amin yang saat mahasiswa aktif di divisi konveksi koperasi mahasiswa ini mulai berpikir memproduksi sendiri kaus. Dengan satu karyawan, ia akhirnya mulai memproduksi kaus dengan desain yang disablon secara manual.
Untuk mengenalkan produksinya yang diberi nama Mr Clean Collection, Amin rajin ikut berbagai pameran, terutama yang diselenggarakan organisasi kemasyarakatan dan partai. Amin melihat, kehidupan partai punya pasar dan peluang tertentu yang bisa dimanfaatkan.
Kelebihan Amin, mampu menangkap dan memanfaatkan momen. "Saat mendekati 17 Agustus saya membuat desain kaus dengan tulisan berbau nasionalisme. Kaus itu saya pasarkan ke Yogyakarta dan Jakarta," katanya.
Awalnya, ia sekadar melayani permintaan, lama kelamaan Amin mampu menangkap tren pasar. Tahun 2004 bisa dibilang tahun yang membawa berkah bagi kehidupan bisnis Amin. Momen pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden jadi titik kemajuan usahanya. Saat itu, Amin kewalahan melayani pesanan dari para partai dan calon yang ikut pemilihan legislatif dan presiden. Saat hampir bersamaan, Amin yang rajin bergaul demi memperluas jaringannya ini, mulai mengenal teknologi cetak digital.
"Saya lihat di Jawa Tengah, paling tidak di Solo dan sekitarnya belum benar-benar ada yang menerapkan teknologi cetak digital ini. Saya melihat banyak kelebihan yang didapat dengan teknologi baru ini," katanya.
Meskipun merasakan manisnya panen pesanan pada pemilu lalu yang dibuktikan dengan hadirnya sebuah mobil baru dan kesempatan naik haji bersama istrinya, pengusaha muda ini memutuskan beralih teknologi. 


Tulisanku seperti termuat di  Kompas (Jawa Tengah) 16 Agustus 2005

PRIA YANG BESARKAN PUSAT KERUDUNG

Kerudung salah satu elemen penting dalam penampilan seorang perempuan yang berbusana muslimah. Seiring makin maraknya pemakaian jilbab, bisnis produksi kerudung makin menjanjikan.
Widodo Muktiyo (41) menyadari hal ini. Sejak tahun 1996, dengan keputusan berani ia memutuskan beralih dari bisnis garmen pembuatan seragam sekolah dan baju pria yang sudah empat tahun digelutinya ke bisnis pembuatan kerudung.
Hingga kini, Widodo yang juga Kepala Humas dan Kerja Sama Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo telah memiliki 10 gerai ritel kerudung yang diberi nama Penimo dan tersebar di Kota Solo, Klaten, Yogyakarta, dan Jakarta.
Koleksinya terdiri dari ratusan item per gerai yang dibeda- kan menjadi golongan corak, warna, jenis bahan, dan ukuran. Tak hanya itu, Penimo juga menyediakan baju muslimah, baju koko, kebutuhan shalat, dan aksesori busana muslimah, scarf, bandana, dan pasmina yang tengah digandrungi kaum perempuan.
Sebagian besar barang itu hasil produksi sendiri dari pabrik garmennya di Wedi, Klaten, yang kini mempunyai 200 pekerja tetap dan 50 mitra yang bekerja subkontrak. Dari modal awal berupa pinjaman Rp 10 juta, kini perputaran bisnis Penimo mencapai Rp 1 miliar. Pilihan Widodo menggeluti bisnis kerudung sejak awal didukung istrinya, Herawati (38). Keduanya berniat bekerja sambil beribadah. "Dengan bisnis ini, saya ikut mensyiarkan ajaran agama soal menutup aurat," jelas Widodo di salah satu gerainya di Kotabarat, Solo, Kamis (13/10).
Tak hanya dukungan moral, Widodo dan Herawati berbagi peran. Herawati mengelola operasional termasuk mengurusi pemasaran dan tren mode. Keduanya memperkenalkan bisnis ini kepada dua anak mereka yang masih kecil.
Kiat mereka up to date terhadap tren adalah dengan membentuk tim desain, berlangganan majalah mode, mengamati gerai pesaing, dan rajin mendatangi peragaan busana. "Kami mengamati tren di Jakarta. Biasanya tren di Yogyakarta dan Solo terlambat dua bulan dari Jakarta. Justru kalau kami produksi item baru terlalu banyak, tidak laku," ungkap Herawati.
Selain memiliki 10 gerai sendiri, keduanya juga menyuplai produk ke berbagai gerai di supermarket. Ke depan, Penimo berencana membuka gerai sistem waralaba dengan membangun sistemnya. Syaratnya mudah, hanya modal Rp 100 juta dan dalam tiga tahun ditargetkan balik modal. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 15 Oktober 2005

ADIB KONSISTEN MEMBANGUN RUMAH SEDERHANA

Pengusaha sukses dipengaruhi faktor keturunan atau berangkat dari usaha warisan. Pandangan ini ingin didobrak Adib Ajiputra (39). Dorongan dari orangtua, Ahmad Jisam Abdul Manan (guru SD) dan Siti Fatonah (ibu rumah tangga), agar ia mandiri membiayai kuliahnya, juga menjadi motivasi kuat untuk mulai berwirausaha.
Adib yang kuliah di Jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta juga prihatin melihat lulusan kampusnya yang pintar-pintar justru menganggur usai lulus kuliah. Jadilah Adib mulai berwiraswasta.
Uniknya, ia memulai wirausaha dengan membuka Institut Pengembangan Kewirausahaan dan Kejuruan Indonesia pada 1992. Tidak lama, ia membuka usaha sablon dan agen air mineral. "Saya terdorong harus berhasil wiraswasta agar menjadi contoh di institut. Hasilnya, teman-teman yang ikut jadi wiraswastawan justru lebih berhasil," jelasnya dengan rendah hati, Senin (21/8).
Selain giat wiraswasta, Adib juga rajin berorganisasi. Ia bahkan sempat mengajar siswa SMP dan SMA Al Muayyad Solo. Alhasil, kuliahnya sampai molor delapan tahun. Baru pada tahun 1994, pria kelahiran Sragen ini lulus kuliah. "Orangtua mendorong saya ikut organisasi, sebagai sumber belajar lain selain sekolah," jelasnya. Kini anak keempat dari delapan bersaudara ini tercatat sebagai Ketua Real Estat Indonesia (REI) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Surakarta. Lulus kuliah tidak membuatnya berpaling pada profesi lain meski sebagian besar saudaranya menjadi guru dan kyai. Usaha sablon dan air mineral masih terus ditekuninya meski pada akhirnya gulung tikar karena tidak fokus.
"Ini pelajaran berharga buat saya bahwa kita harus total dalam mengerjakan sesuatu," tuturnya.
Semangat tinggi Adib untuk tetap berwiraswasta ditambah pergaulannya yang luas membawanya merambah dunia properti. Tahun 1996, tidak lama setelah menikahi Sri Bangun Puji Astuti, Adib memulai kiprahnya dengan membangun 175 unit Perumahan UNS V Palur yang diperuntukkan bagi dosen, karyawan UNS, dan masyarakat umum. Ia berkolaborasi dengan sang adik yang lulusan Teknik Sipil untuk mengurusi masalah teknis. Beruntung proyek selesai bersamaan dengan datangnya krisis moneter.
Selain tidak terhantam dampak krisis, perumahan sederhana yang dibangunnya diminati.
Hingga kini, pilihan usahanya konsisten, membangun rumah bagi golongan ekonomi menengah ke bawah atau rumah sederhana sehat (RSH). Padahal diakuinya, membangun rumah bagi segmen menengah ke atas jauh lebih menguntungkan. "Selain ingin membantu kebutuhan rumah bagi golongan ini, pasar RSH jelas," kata Adib yang juga sukses mendorong sang istri terjun ke dunia bisnis dengan menekuni usaha busana muslim.
Hingga kini Adib telah membangun lebih dari 600 unit RSH yang laris manis di bawah bendera PT Griya Abadi Santosa. 


Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 22 Agustus 2006

SARJANA SIPIL PEMBUAT KUE

Bercita-cita sejak kecil menjadi arsitek, saat duduk di bangku kuliah Viria Shanti (37) yang akrab dipanggil Nunuk justru masuk jurusan Teknik Sipil di Universitas Atmajaya Yogyakarta. Setelah lulus, Nunuk kembali ke kampung halamannya di Solo dan "kecemplung" di usaha pembuatan kue kering. Pekerjaannya ini ia sebut "konstruksi roti". Tentu saja anak kedua dari tiga bersaudara ini tak pernah menyangka jalan hidupnya berubah 180 derajat dari yang dicita- citakannya. Nunuk tak pernah menyesal. Justru sambil berkelakar ia bilang, kalau tahu akan menjadi "pembuat" kue, tak akan membayar mahal dan sekolah susah-susah di Teknik Sipil.
Perkenalannya dengan dunia kue kering berawal saat Nunuk duduk di bangku SMA. Saat itu ia membantu sang ibu, Widyastuti, menggeluti usaha sambilan pembuatan kue kering guna membantu ayahnya, Eko Priyono, yang pengusaha mebel. Dari sekadar membantu, lama-lama Nunuk mahir membuat berbagi kue kering. Sayang, saat kuliah ia tidak bisa rutin lagi membantu sang ibu. Lepas kuliah, Nunuk yang baru saja menikah tepat setahun sebelum kelulusannya, tiba-tiba menerima lagi pesanan kue. Nunuk yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dengan senang hati menerima tawaran itu.
"Saya orangnya paling tidak betah menganggur. Mau bekerja sesuai bidang kuliah agak sulit di kota kecil. Kebetulan suami juga lebih suka saya mengurus anak, jadi saya terima tawaran membuat kue kering," ungkap ibu dari dua anak ini ceria saat ditemui di rumahnya di Solo Baru yang sekaligus digunakan sebagai "pabrik", Senin (16/10).
Kebetulan usaha kue kering sang ibu terhenti di tahun 1994. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Nunuk melanjutkan dan mengembangkan usaha itu. Tak hanya membuat kue kering, ia juga menerima pesanan kue tart, bakery, dan coklat. Pengetahuan dan keterampilan barunya diperoleh dengan mengikuti berbagai kursus singkat di berbagai hotel di Jakarta, Surabaya, dan Solo. Meski jago membuat kue kering, ia mengaku tidak senang masak. "Saya lebih suka membuat kue kering, kue setengah basah seperti lumpia, tidak suka," ungkapnya sambil tersenyum.
Sekitar 10 tahun kemudian atau Juni 2006, Nunuk memutuskan melebarkan pasar dengan membuka counter kuenya di Solo Grand Mall. Sebulan lalu, ia juga membuka counter serupa di Plaza Ambarukmo, Yogyakarta. Kalau dulu ia memakai merek Cimi, kini ia berganti dengan label yang lebih genit, CoKiss yang artinya coklat dan cookies. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 17 Oktober 2006

GUNAWAN SETIAWAN NGURI-URI ILMU BATIK

Kampung Kauman yang terletak tidak jauh dari Keraton Surakarta Hadiningrat sejak lama terkenal sebagai penghasil batik yang menelurkan banyak pengusaha sukses. Hingga kini, meski telah jauh berkurang jumlahnya, masih ada orang-orang yang meneruskan usaha batik. Salah satunya adalah Gunawan Setiawan.
Sebagai generasi ketiga, Gunawan Setiawan (35) bersama dua kakaknya, Muhyidin (45) dan Uswatun Hasanah (43), meneruskan usaha batik sepeninggal kedua orangtua mereka, Muhammad dan Siti Badriyah, pada tahun 1981. "Orangtua dulu juga mewarisi usaha dari orangtuanya," jelas Gunawan saat ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi ruang pamer dan tempat bekerja.
Awalnya, usaha batik keluarga ini menggunakan merek AS sebelum berganti menjadi Putra Mas dan sejak tahun 1972 oleh Muhammad diganti lagi menjadi Gunawan Setiawan, seperti nama anak bungsunya. Meski anak bungsu, Gunawan juga harus menjalani kerja keras yang ditanamkan keluarga sejak kecil. Mengumpulkan ceceran malam untuk digunakan kembali dan berjualan batik semasa sekolah adalah pekerjaan rutinnya.
Meskipun mengenyam pendidikan sarjana manajemen, namun arahan sejak awal untuk menjadi wiraswastawan, membuat Gunawan mantap memilih batik sebagai jalan hidupnya.
Kejujuran yang ditanamkan leluhurnya menjadi pegangan nomor satu dalam berusaha. "Kalau ada kain bolong, ya kita ungkapkan pada pembeli, meski itu akan mengurangi harga," jelas Gunawan.
Inovasi dan kreativitas dalam segala hal lantas menjadi kiat memenangkan persaingan usaha, mulai dari desain, proses pewarnaan, hingga pemasaran. Kebiasaan sang ayah yang rajin mencatat setiap hasil percobaannya dalam mencari formula warna batik, lalu ditirunya baik-baik. "Bapak sering mencatatnya di tembok, di tiang, dan di sembarang tempat yang terjangkau. Lalu disalin oleh ibu. Itu warisan buat kami yang nilainya tak terhingga," kata ayah empat anak ini.
Di saat perusahaan batik lain menutup rapat-rapat pintu mereka agar formula dan proses pewarnaannya tidak mudah ditiru, Gunawan justru sebaliknya. Ia justru membuka kesempatan lebar-lebar bagi mereka yang ingin belajar batik di tempatnya. "Saya mendapatkan ilmu batik secara "gratis" dari Bapak saya. Kenapa tidak saya tularkan kepada masyarakat. Saya khawatir jika ilmu ini hanya disimpan, batik lama-lama akan punah," ungkapnya.
Dampak positif yang tidak disangkanya, usaha menularkan ilmu ini justru menjadi investasi jangka panjang untuk menanamkan citra usahanya di benak masyarakat. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 2 Januari 2007

CERITA DI BALIK SANGKAR BURUNG


Lebih dari 13 tahun lalu, Bambang Sulistyo (47) menjalani hari demi hari dengan berkeliling menjalankan profesinya sebagai tenaga penjualan. Menjual produk batik atau teh pernah dilakoninya. Namun, sekarang semua itu tinggal cerita. Kini Bambang termasuk salah satu wiraswastawan mandiri yang berhasil mengentaskan diri berkat sangkar burung.
Berawal dari kebiasaannya sepulang kerja melihat proses pembuatan sangkar burung di rumah seorang teman, lama-lama ia tertarik untuk membuat sendiri sangkar burung. Seusai pulang kerja atau saat libur, ia membuat sangkar burung. Uniknya, ayah tiga anak ini bukan pehobi memelihara burung.
Setelah terkumpul banyak, ia menjual sangkar-sangkar burung ciptaannya di Pasar Burung, Depok, Solo. "Ternyata laku. Sejak itu, saya berpikir mengapa tidak menekuni saja usaha ini," ungkap Bambang, Kamis (1/2).
Berbekal izin dari istrinya, Rubiyah, Bambang mulai merintis usahanya. Ia pun mengajak sanak saudara dan tetangganya untuk berusaha serupa. "Saya ajak saudara saya yang tukang batu, penjual wedang. Awalnya mereka tidak percaya, setelah laku, mereka baru yakin untuk meninggalkan pekerjaan lama," kata Bambang yang rutin menggelar pertemuan tiga bulanan dengan para perajinnya.
Bambang akhirnya secara penuh berwiraswasta membuat sangkar burung. Keuntungan yang terkumpul sedikit demi sedikit dibelikan alat kerja. Pesanan pun berlimpah. Dalam sebulan ia bisa mendapat pesanan sangkar burung hingga 7.000 buah. Namun ia hanya mampu melayani 3.000 buah yang dikerjakannya bersama 200 perajin. Lingkungan rumahnya di Kampung Debegan, Mojosongo, Jebres, Solo, dan sekitarnya kini dikenal sebagai sentra sangkar burung. Bambang termasuk pionernya.
Pesanan kini datang dari hampir seluruh wilayah Indonesia. Jatuh bangun menjadi bagian dari berusaha. Ujian paling berat adalah isu flu burung yang beberapa tahun terakhir melanda. Pesanannya merosot hingga 70 persen. Perajin mitranya pun kini hanya 56 orang.
Namun, ia tetap bertahan dan konsisten membuat sangkar burung. Beruntung sejak tahun 1997 ia juga mengembangkan produk sangkar burung jenis khusus, yaitu sangkar burung eksklusif atas dasar pesanan. Sesuai pesanan, sangkar burung ini dilengkapi ukir-ukiran, mulai dari cerita wayang hingga dewa-dewa Tiongkok. Usaha ini relatif stabil dan tahan goncangan isu flu burung. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 6 Februari 2007

ZHAKIAH BERANI MALU UNTUK MAJU

Usianya masih terbilang muda. Namun, keberaniannya dalam hal berbisnis barangkali bisa dibilang melampaui usianya. Zhakiah (25) sejak usia belia sudah bercita-cita menjadi pengusaha. Menjadi pegawai tidak pernah ada dalam bayangannya.
"Saya ditawari kerja di banyak tempat, tapi tidak mau. Selain waktunya terikat, gajinya paling besar, misalnya jadi manajer, di daerah hanya Rp 5 juta per bulan. Sekarang ini, jumlah itu alhamdulillah bisa saya dapat per hari," ungkap perempuan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ini, Sabtu (3/11).
Ilmu akuntansi sengaja dipilihnya saat kuliah untuk mendukung cita-citanya berbisnis. Saat ini, ia mengekspor kain tetoron ke Oman untuk bahan seragam tentara Oman. Ekspor ini terikat kontrak tiga tahun dan sudah masuk tahun kedua.
"Kontrak ini saya peroleh saat pameran dagang di Dubai. Saya menjadi salah satu wakil Jawa Tengah," jelas Zhakiah yang tengah hamil anak kedua.
Selain itu, ia juga menggeluti ekspor-impor ke Arab Saudi. Makanan, kosmetik, dan obat-obatan khas Arab ia impor ke Indonesia dan dijual di tokonya di Semarang. Toko serupa ada di Kota Solo, milik ayahnya, Ali Abdurrahman. Semasa kuliah, ia mondar-mandir Semarang-Solo untuk membantu mengelola toko ayahnya yang pada tahun 1999 pindah ke Kota Solo. "Saya juga impor jinten dari Arab empat ton per bulan," kata Zhakiah yang juga mengekspor sarung tenun ke Arab Saudi.
Kemampuannya berdagang terasah sejak kecil. Sulung dari 10 bersaudara ini saat masih SMP sudah membantu ayahnya berjualan di Simpanglima Semarang. Pada masa pemilu, ia membantu berjualan atribut partai politik.
"Waktu SD, teman saya ingin pulpen bagus. Saya menawarkan membelikan. Dari situ saya mengambil sedikit selisih. Saya harus usaha dulu untuk punya uang jajan lebih. Maklum, punya banyak adik. Rasa takut dan malu sudah hilang dengan pengalaman membantu bapak berdagang. Itu berguna kalau kita mau usaha dari nol," ujarnya.
Ayahnya yang ia panggil abah adalah sumber inspirasinya dalam berwirausaha. "Abah yang mendorong saya untuk tidak takut dalam berbisnis. Kalau saya ada masalah, ragu-ragu untuk memulai, saya pasti konsultasi dengan beliau," kisah Zhakiah yang pernah mengajar bahasa Arab selama kuliah.
Sejalan dengan suaminya, Hamzah Musawa, yang menggeluti bisnis percetakan, Zhakiah ingin membuka dua toko buku yang khusus menjual buku-buku impor berharga murah. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa  Tengah) 27 November 2007

SITI FATIMAH, KECIL-KECIL LAMA-LAMA JADI BESAR


Siti Fatimah (34) tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha mebel. Kuliahnya saja di Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Negeri Surabaya. Lulus kuliah, ia sempat bekerja di konsultan teknik.
Hanya bertahan setahun, ia lalu mengajar di STM, di empat sekolah sekaligus. Siti bekerja dari Senin hingga Minggu mulai pukul 07.00- 17.00. Bekerja keras menjadi bagian hidupnya.
Selama kuliah, ia juga menyambi berdagang. "Otak dagang"-nya selalu jalan bila melihat kesempatan berjualan datang. "Saya jual batik, mukena, dan buku-buku agama ke teman-teman," katanya beberapa waktu lalu.
Kebiasaannya berdagang tak surut meski sudah bekerja. "Sejak kerja di konsultan, saya mulai bisnis jual mebel. Mebelnya saya ambil dari tempat bapak, lalu saya tawarkan ke teman-teman," katanya.
Siti, anak kedua dari sembilan bersaudara ini lahir di tengah keluarga pengusaha mebel. Seluruh saudaranya kini pengusaha mebel. Ayahnya, Mukhlas, adalah pedagang generasi pertama di Pasar Mebel Surakarta sekitar tahun 1970-an. Usahanya kemudian diteruskan sang ibu. "Ayah dulu sering ikut kakek jualan mebel keliling, hanya dengan dipikul dari Kalijambe hingga Solo," ungkapnya.
Semakin hari pesanan mebelnya semakin banyak hingga akhirnya ia memutuskan terjun total ke bisnis mebel. "Karena ketika mengajar di sekolah waktu saya terikat dan tersita, saya putuskan untuk bisnis mebel saja," jelas Siti.
Ia tidak lagi mengambil mebel dari toko ayahnya, melainkan memproduksi sendiri. Siti tak hanya pasrah dengan hasil kerja para pekerjanya, melainkan juga turut memikirkan soal desain. "Ini untuk menarik pembeli. Biar mereka melihat barang kami berbeda dari toko lainnya," katanya.
Siti pun berani pasang harga lebih murah dibanding toko-toko mebel lain. "Itu makanya, toko saya termasuk yang paling ramai di sini," kata Siti yang memiliki tiga bengkel kerja dan ruang pamer di Pasar Mebel, Solo, dan sebuah bengkel kerja di Telukan, Sukoharjo.
Salah satu kunci yang membuat pelanggannya betah adalah pelayanan yang optimal. "Saya layani terus apa kemauan pelanggan. Mereka mengeluh soal A, kita coba perbaiki soal A dan selanjutnya sehingga pelanggan tidak kapok kembali ke tempat kita," ungkap ibu Fadhal Fathurohman (9) dan Afrizal Yafi' Rohman (6) ini.
Didikan orangtua yang keras soal kemandirian dan sifat hemat telah membentuk sifat yang dibutuhkan seorang wirausaha. Memulai usaha sendiri, menurutnya, tidak perlu modal besar.
"Yang penting jangan malu sepanjang usaha kita halal. Kita bisa mulai dari kecil, tidak perlu langsung modal besar," jelas istri Taufik Rohman ini. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 4 Desember 2007

DARYANTI, BUKAN SEMBARANG JURAGAN

Daryanti (44) hampir menyerah saat usahanya tak kunjung memberi untung, bahkan ia terus merugi. Namun, salah satu juragan bawang merah di Pasar Legi, Solo, ini memutuskan bertahan. Tak disangka, ini justru menjadi titik balik usahanya.
Dari semula hanya berjualan satu karung bawang merah, kini ia bisa kulakan hingga 40 karung per hari. Bawang merah yang dijualnya dikirim dari Brebes. Tak hanya itu, setiap hari ia juga mengirim masing-masing 1.500 kilogram bawang merah dan bawang putih kupas ke seorang pengusaha di Surabaya untuk diekspor ke Amerika Serikat. Ia juga membuat bawang goreng, setiap hari ia membutuhkan sekitar 200 kg bawang merah.
Hingga kini sudah 20 tahun perempuan kelahiran Wonogiri ini berjualan bawang merah. Meski hanya lulusan SMP, Daryanti bisa membuktikan mampu memberdayakan diri bahkan bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Pendidikannya yang rendah bisa ditutupinya dengan keinginan dan kegigihannya untuk mandiri.
Dari hasilnya berjualan bawang, ia bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Ia juga membelikan kedua anaknya yang telah berumah tangga, masing-masing sebuah rumah.
Kunci keberhasilannya adalah tidak cepat menyerah dan mau terus belajar. Perempuan yang sejak kecil membantu mendiang ibunya, Ny Jumadi, berjualan bawang merah ini memang bercita-cita mempunyai usaha sendiri.
"Awalnya saya buat 5 kg bawang goreng, tidak berhasil, lalu saya buang. Tapi kemudian saya tanya-tanya pada bakul-bakul langganan saya. Katanya saya harus beli kompor besar supaya hasilnya bagus. Kalau dulu saya kupas, iris, dan goreng sendiri, sekarang saya punya dua mesin kupas yang harganya satu buah Rp 5 juta," papar nenek tiga cucu ini, pekan lalu.
Dari awal hanya bekerja sendiri berjualan bawang merah, kini Daryanti membawahi 200 orang tenaga lepas pengupas bawang, 30 pemetik bawang, 3 orang tukang menggoreng bawang, dan 10 tenaga angkut. Sebagian besar mereka adalah tetangga di Kampung Tapen, Nusukan, Banjarsari, Solo.
Meski sudah jadi juragan, Daryanti tetap ikut melayani pembeli di kiosnya, di sebelah barat setelah pintu masuk Pasar Legi. Suaminya, Seti, mengawasi pekerjaan pengupas bawang di rumah. Anak sulungnya, Sarah (28), mengurusi administrasi usaha jual beli bawang dan bawang kupas. Anak bungsunya, Bayu (26), membuka toko kelontong tidak jauh dari kios bawang merah miliknya. 

Tulisanku  seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 18 Desember 2007

IMELDA SUNDORO, RATU OTOMOTIF DAN PROPERTI


Nama Sun Motor, diler berbagai merek mobil dan motor yang membentang di 97 cabang di kota-kota dari Sabang sampai Merauke. Pemiliknya adalah perempuan tangguh kelahiran Solo, Imelda Tio Sundoro. PT Sun Motor Group yang dirintis Imelda sejak tahun 1972, kini menjadi semacam supermarket mobil dan motor yang menaungi lebih dari 10 merek. Tidak heran jika kemudian ia dijuluki "ratu otomotif".
Agaknya gelar itu akan bertambah dengan "ratu properti" karena sepak terjangnya di dunia properti. Melalui bendera PT Sunindo Primaland, Imelda membangun Hotel Novotel dan Hotel Ibis di Solo, Hotel Grand Mercure di Yogyakarta, Hotel Novotel di Semarang, dan perumahan mewah Sun Residence di Colomadu, Karanganyar.
Ia pun dengan gagah memulai proyek apartemen Solo Paragon dengan konsep mix used, yakni memadukan konsep apartemen, hotel, mal, dan city walk. Apartemen adalah hal baru di dunia properti di Solo.
"Tahun ini, saya akan membangun hotel bintang lima, Best Western, di bekas gedung BHS Bank di Solo yang mangkrak," ungkap Imelda pekan lalu. Bisnis ibu beranak empat itu juga menggurita ke bidang keuangan, manufaktur, furnitur, multimedia, dan hiburan.
Imaginasi. Itu yang membuat Imelda begitu agresif di dunia usaha. Ditambah kejelian dalam mengambil peluang dan ketangguhan dalam menghadapi kerasnya persaingan usaha.
Ketangguhan dan kejelian Imelda tidak dibangun dalam semalam. Sejak usia sembilan tahun, ia membantu usaha kelontong sang ayah. Setelah menikah dengan Sundoro Hosea, keduanya merintis bisnis konveksi. Imelda membuat sendiri pola, memotong kain, dan menjahitnya. Pakaian yang jadi lalu dijual grosiran ke pasar.
Imelda terjun ke dunia otomotif tanpa sengaja. Seorang teman tertarik membeli mobilnya dan ia meraih untung. Setelah ruang pamer di garasi, tahun 1974, Imelda mendirikan Sun Motor.
Ia dipercaya menjadi subdiler Suzuki untuk wilayah Solo 13 tahun kemudian. Setelah itu, merek-merek otomotif ternama pun menggandengnya sebagai subdiler. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 26 Februari 2008

KEUNIKAN BATIK SRAGEN


Wahid Al Amin (28) awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi pengusaha batik. Kuliahnya saja di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Ia juga menekuni teknisi komputer dengan belajar di program D3 Analis Komputer. Namun, lingkungan yang mengasahnya lebih berpengaruh membentuk jiwa wirausaha yang terpendam di dalam dirinya.
Wahid dibesarkan di tengah keluarga yang mengandalkan penghidupan dari membuat batik. Usaha batik dirintis ayah dan ibunya, Sartono (58) dan Mubarokah (48), pada tahun 1985 dengan mengerjakan pesanan dari pengusaha batik di Kota Solo dan menggarapnya di rumah mereka di Dusun Pilang Tengah, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.
Lama-kelamaan keluarga ini memiliki usaha batik yang lebih mandiri dengan memasarkan produk-produk mereka di bawah bendera Batik Abimanyu. Tonggak bersejarah usaha keluarga ini terjadi pada tahun 1992.
Meski awalnya mengerjakan pesanan, para perajin batik di Sragen pada umumnya tetap menampakkan ciri khas batik mereka, yakni warna yang terkesan lebih pudar dibanding batik Solo. Di sisi lain, warna yang lebih berani dibanding batik Solo juga muncul dari produk batik Sragen, seperti biru, hijau, atau merah.
Batik keluarga
Wahid mulai terjun lebih serius ke usaha batik keluarganya tahun 1998. Waktu itu ia lebih berfokus untuk menangani aspek pewarnaan dan pemasaran. Wahid baru terjun total mengelola usaha batik keluarga setelah menikah pada tahun 2002. Ia bersama sang istri, Yuanita Supriani (28), kini bahu-membahu mengembangkan usaha batik mereka.
Setelah dipercaya mengelola penuh usaha Batik Abimanyu, ia tertantang untuk lebih mengembangkan usaha.
Tidak lagi ingin sekadar mengerjakan pesanan yang kebanyakan kain panjang dan sarung, Wahid kemudian membuat diversifikasi produk, antara lain kemeja, kaus, dan baju batik yang kemudian dipasarkan sendiri.
Kini produk batiknya tidak hanya dikirimkan ke Kota Solo, melainkan sudah merambah kota-kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera. Ia juga kerap mendapat pesanan seragam batik dari kota-kota di Sulawesi. Omzet usahanya per bulan Rp 50 juta-Rp 70 juta. Omzetnya bisa mencapai Rp 100 juta-Rp 150 juta bila pesanan seragam sedang memuncak.
Produk Batik Abimanyu dibuat dengan teknik cabut dan tulis atau campuran keduanya. Teknik cabut serupa dengan teknik sablon. Agar mempunyai ciri khas, ia mengembangkan sendiri motif-motif batiknya berdasarkan motif pakem yang kemudian dimodifikasi. Ide pengembangan motif tidak jarang ia peroleh dengan cara menjelajah ke dunia maya.
"Sebanyak 80 persen motif batik kami, dibuat sendiri," jelas Wahid pekan lalu.
Obsesinya setelah ini adalah membuat situs khusus untuk memamerkan produk batiknya agar lebih dikenal khalayak dan membuka pemasaran lebih luas. 

Tulisanku seperti termuat di  Kompas (Jawa Tengah) 15 April 2008

MODAL NEKAT BIKIN PABRIK TAS


Pengalaman hidup yang beragam memperkaya hidup Jumanto (40). Kerasnya hidup yang pernah menghampiri ayah empat anak ini justru membuat Jumanto tidak kenal menyerah dalam berusaha. Pria yang pernah menjadi mekanik di sebuah perusahaan asing eksplorasi tembaga terbesar di Papua ini kini bahagia dengan usaha produksi tas yang dirintisnya sejak tahun 2001.
Jumanto hanya bertahan tiga bulan bekerja di Papua. Ia lalu mundur dan ke Jakarta membuat usaha produksi tas bersama seorang temannya. Mereka ekspor tas ke Brunai Darussalam dan Papua Niugini.
Namun, malang tak dapat ditolak. Usahanya bangkrut karena kiriman tidak sesuai pesanan. Sementara untuk memulangkan ribuan tas yang sudah terkirim butuh biaya besar. Jumanto yang kehabisan modal merelakan barang-barangnya tetap di negara tujuan. Ia bahkan masih harus menanggung utang yang jumlahnya puluhan juta rupiah.
Jumanto sempat menjadi office boy dan petugas kebersihan di Jakarta sebelum akhirnya pulang ke Sragen, tempat kelahiran istrinya, Pertiwi, di Genengsari, Blangu, Gesi, Sragen.
"Saya pulang hanya membawa baju yang melekat di badan," katanya mengenang.
Mental tidak terpuruk
Bersyukur, mentalnya tidak terpuruk kala itu. Dengan pinjaman Rp 1,5 juta dari sang kakak, ia lantas mencoba kembali peruntungannya di dunia pembuatan tas.
"Manusia lahir dalam keadaan telanjang dan bisa bertahan. Masa kita manusia dewasa tidak bisa bertahan saat ada cobaan. Untuk berwirausaha itu yang penting yakin dan berani," ungkap anak pasangan Tarno dan Kinem ini.
Dengan bantuan dua pekerja dan dua mesin jahit sederhana, Jumanto memulai usahanya. Saat itu, hanya 12 buah tas yang mampu diproduksinya per hari.
Jumanto beruntung karena saat itu menjelang tahun ajaran baru sekolah. Tasnya langsung laris manis saat dibawa ke sebuah pasar tradisional di kota Sragen dengan mengendarai sepeda. Produksi selanjutnya juga habis terserap.
Kini dengan 43 pekerja, produksi tasnya sehari mencapai 400-500 buah. Pemasarannya selain di area Pulau Jawa, juga merambah Kalimantan, Papua, Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat.
"Saya juga bisa bayar utang saat bangkrut dulu," tambahnya. Agar produknya tetap digemari pasar, Jumanto rajin mengintip desain tas-tas dari merek yang sudah ternama untuk kemudian dimodifikasi dengan idenya sendiri. Pria yang hobi jalan-jalan ini menyasar pasar tradisional sebagai pasar utamanya karena belum banyak yang bermain di segmen itu.
"Tas itu yang penting rapi dan kuat, orang pasti beli," kata anak kelima dari delapan bersaudara ini.
Itu sebabnya produk tasnya diberi label Daimesstar, artinya kira- kira produk unggulan yang rapi. Daimes dari bahasa Jawa artinya rapi dan star dari bahasa Inggris yang artinya bintang. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 22 April 2008

LULUSAN SD YANG MENJADI EKSPORTIR


Kecerdasan berbisnis boleh jadi tidak bergantung pada kemampuan akademis. Samidi Budi Raharjo (52) buktinya. Laki-laki yang hanya lulusan sekolah dasar ini mampu menjadi eksportir dengan omzet miliaran rupiah. Samidi awalnya hanya pekerja di sebuah perusahaan ukir kaca. Beberapa tahun bekerja, ia memutuskan keluar dan membuat usaha sendiri.
Usaha itu dimulainya tahun 1988. Dibantu dua pekerja, mereka membuat beberapa buah produk ukir kaca. Hasilnya dijajakan sendiri dari pintu ke pintu calon pelanggan. "Modal saya waktu itu Rp 1,5 juta hasil pinjaman orang," kata Samidi beberapa waktu lalu.
Titik balik roda usahanya terjadi pada tahun 1989. Saat itu, seorang temannya mengajak seorang pembeli dari Jerman datang ke tempat usaha Samidi. Orang Jerman itu lalu memesan beberapa sampel produk. Karena puas dengan produk buatan Samidi, pesanan bertambah dan sejak itu Samidi menjadi eksportir ukir kaca.
Pasarnya kini merambah negara-negara di berbagai benua, seperti Australia, Inggris, Perancis, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Berbagai produk furnitur dan barang rumah tangga lainnya tidak luput dari sentuhan ukir kaca. Harga produknya dipatok Rp 300.000-Rp 3 juta per unit.
Selama lima tahun pertama, Samidi membuka bengkel kerja di kawasan Manahan, Solo. Setelah listrik menerangi kampungnya di Bakipandeyan, Baki, Sukoharjo, Samidi memindahkan bengkel kerjanya ke Bakipandeyan dan bertahan hingga sekarang. Gantian jaringan telepon yang belum merambah kampungnya, niat ayah empat anak ini membuat situs usahanya belum tercapai.
Untuk mempertahankan pelanggan, Samidi selalu menjaga kepercayaan. Sebagai contoh, beberapa pelanggan memintanya agar merahasiakan desain produk yang mereka pesan. "Ya, saya jaga betul rahasianya. Kalau tidak, pelanggan bisa kabur," katanya.
Usaha Samidi kini dibantu 57 karyawan. Nilai volume ekspornya rata-rata Rp 2 miliar per tahun. Sayangnya, dengan kenaikan sejumlah bahan baku dan penunjang, usaha ukir kaca, termasuk yang dikelola Samidi, lesu
"Kami harus menaikkan harga jual kalau tidak mau rugi. Akibatnya, beberapa pembeli menunda atau beralih ke produk negara lain. Serba salah," ujar Samidi.
Pengalaman begini bukan yang pertama baginya. Namun berbagai cobaan justru semakin meyakinkan Samidi untuk tetap menekuni ukir kaca. "Anak-anak saya larang jadi pegawai negeri. Lebih baik jadi wiraswasta saja, lebih mandiri," katanya terkekeh. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 27 Mei 2008

SUKMAWATI, AWALNYA TERPAKSA...


Bercita-cita menjadi guru Bahasa Inggris, Sukmawati (34) justru kecemplung menjadi pengusaha jamu. Ia harus meneruskan usaha jamu yang dirintis ibunya, Djinah, sejak tahun 1974. Sang ibu berjualan jamu di Pasar Nguter, Sukoharjo, yang kini dikenal sebagai sentra jamu tradisional. Resep jamu berasal dari nenek Sukmawati yang juga telah berjualan jamu sejak muda.
Sukmawati, anak kelima dari sembilan bersaudara, adalah satu- satunya yang masih tinggal di Nguter, Sukoharjo, sehingga ia ketiban sampur meneruskan usaha ini setelah sang ibu meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Lulus kuliah, Sukmawati sempat bekerja di sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selama dua tahun, lalu mengajar Bahasa Inggris privat selama satu tahun.
Meski awalnya sedikit terpaksa, tetapi Sukmawati dengan bantuan sang suami, Hartoyo, yang bekerja sebagai guru di SMP 1 Nguter ini, berhasil membesarkan usaha.
Awalnya, Sukmawati perlu beradaptasi untuk melanjutkan usaha produksi jamu itu. Maklum, obsesinya tetap menjadi guru Bahasa Inggris. Sukmawati mengandalkan pekerjanya yang berpengalaman dan setia yang telah bergabung membantu ibunya selama puluhan tahun. Sedikit demi sedikit ia mempelajari seluk-beluk usaha jamu. Dia menerapkan pula ilmu akuntansi hasil kuliah di Akademi Akuntansi (AA) YKPN Yogyakarta dengan berbagai penyesuaian.
"Saya buat pembukuan model sendiri yang pas untuk usaha jamu," tuturnya.
Usaha jamu mereka yang mengusung label "Bintang Mas" kini menawarkan 30 jenis jamu. Kelak Sukmawati menyimpan keinginan untuk memproduksi jamu instan.
"Cuma mesinnya kok mahal ya. Satu unit Rp 50 juta," ungkap ibu dari dua anak ini beberapa waktu lalu di Sukoharjo.
Jamu produksi "Bintang Mas" tidak hanya ada di Jawa Tengah, tetapi hingga Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dulu jamunya pernah laku di Brunei Darussalam. Meski sukses sebagai pengusaha jamu, Sukmawati masih menyimpan hasratnya menjadi guru Bahasa Inggris. "Jika si bungsu sudah besar, saya akan menjadi guru," katanya. 

Tulisanku seperti termuat  di Kompas (Jawa Tengah) 1 Juli 2008

PENGUSAHA KOTORAN SAPI


Agus Wiryatmo tidak pernah menyangka protes warga yang dilayangkan kepadanya ternyata menjadi pintu gerbang kesuksesan usahanya.
Agus memiliki usaha peternakan. Bau kotoran yang muncul dari usaha ternaknya menuai protes warga. Agus harus berpikir kreatif agar protes tidak lagi menimpanya. Ia kemudian mengolah kotoran sapi yang menjadi sumber bau sebagai pupuk organik. Ini terjadi tahun 1996.
Kini di bawah bendera CV Ginanjar Subur yang didirikannya, Agus mampu memproduksi pupuk organik dari kotoran sapi 100-200 ton per hari. Pemasarannya hanya dari mulut ke mulut. Namun, ini cukup membuat Agus kewalahan memenuhi permintaan.
Pupuk organiknya ada beberapa macam, yakni "Subur" untuk padi, sayur, dan tanaman perkebunan; "Mekar" untuk tanaman hias; dan pupuk organik cair dari kencing sapi dengan merek "Bumi Subur" dan "Cair Mekar". Ia juga memproduksi media tanam dan pestisida organik yang dibuat dari campuran kencing sapi, tumbuhan, dan biji-bijian dengan merek "Paitan".
Tidak hanya itu, Agus juga menghasilkan probiotik dengan merek "Biosub" yang digunakan sebagai penghilang bau. "Pesanan terbanyak datang dari kota-kota besar, seperti Jakarta dan Semarang. Biosub digunakan untuk menyiram WC sehingga jamban tidak perlu disedot karena kotorannya sudah hancur oleh probiotik," jelasnya, Rabu (9/7).
"Biosub" dibuat dari rumen (bagian terbesar perut) sapi yang mengandung berbagai bakteri yang membantu proses pencernaan. Semua produknya, menurut Agus, telah melewati uji laboratorium di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Selain itu, Agus juga merangkai instalasi pengolahan air limbah (IPAL) biogas dari plastik berbiaya murah.
Untuk membuat IPAL biogas dengan material bangunan menelan biaya hingga Rp 30 juta. Untuk itu, peternak harus menunggu bantuan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) daerahnya. Agus mampu membuat IPAL yang hanya menghabiskan biaya maksimal Rp 1,5 juta dengan kapasitas 5.000 meter kubik. Dengan modal satu ember kotoran sapi yang diolah di IPAL sederhana tadi dihasilkan biogas yang cukup untuk kebutuhan memasak selama sehari.
Seminggu sekali, pasti ada kelompok tani yang datang ke tempatnya menimba ilmu pertanian organik. Saat Agus bekerja, tugas mengajar pelatihan diambil alih kedua anaknya, Yusuf Agni Wiryatmo dan Ragil Agro Wiryatmo atau anggota kelompok tani "Marsudi Margorahayu" yang sudah berpengalaman pimpinan Agus Wiryatmo. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 15 Juli 2008

NAIK HAJI BERKAT TAHU


Cita-citanya hanya satu, mandiri. Aco Warso Praja Sumitra (49) sempat lima tahun bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Jakarta. Sebelumnya ia bekerja sebagai operator mesin di sebuah pabrik sepatu di Bandung usai lulus Sekolah Teknik Menengah 5 Jakarta tahun 1979.
Tahun 1984, pria asal Kuningan, Jawa Barat, ini memutuskan pindah dan menetap di kampung halaman istrinya, Sumarah (46), di Kota Solo. Di Kota Bengawan itu ia memilih usaha mandiri dengan membuka pabrik tahu. Sebenarnya, mendiang ibu mertuanya pernah membuka usaha serupa tetapi tidak berlanjut.
Aco memulai lagi dari awal. Untuk membekali dirinya dengan pengetahuan membuat tahu, Aco tidak malu-malu berguru kepada beberapa perajin tahu yang sudah lebih dulu memulai usaha.
"Awalnya sehari hanya menghabiskan 15 kilogram kedelai dan mengerjakan sendiri semuanya bersama istri," kenang Aco saat ditemui beberapa waktu lalu.
Aco dan Sumarah bahu-membahu membangun usaha mereka. Sumarah membantu sang suami dalam proses produksi. Setelah itu Aco berkeliling dengan sepeda motornya menjajakan tahu.
Sekarang produksi tahu mereka menghabiskan 5 kuintal kedelai per hari yang digarap 16 pekerja. Dari hasil membuat tahu, Aco mampu menghidupi keluarganya. Anak sulungnya telah lulus sarjana farmasi dari sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Solo. Si bungsu sedang proses masuk ke perguruan tinggi tahun ini.
Aco dan sang istri telah naik haji tahun 2005 dari hasil kerja keras mereka mengelola usaha tahu. Tempat usaha Aco di Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, adalah sentra pembuatan tahu. Menghadapi persaingan dengan usaha pembuatan tahu lainnya, Aco yang juga Ketua Paguyuban Perajin Tahu Tempe "Sumber Rejeki" Mojosongo ini memegang prinsip jujur.
"Tuhan sudah mengatur rezeki semua orang. Buktinya, di sini banyak perajin tahu dan tempe, tetapi semua bisa hidup. Bagi saya yang penting usaha itu jujur agar dipercaya orang lain," katanya.
Namun, cobaan usaha bukan tidak pernah menghampirinya, yang paling berat adalah isu tahu berformalin. Permintaan tahu merosot hingga 50 persen selama 2-3 bulan karena isu itu. Padahal, sepengetahuannya, perajin tahu di Mojosongo tidak memakai formalin.
Agar tahu kenyal dan awet, Aco merebus ulang tahunya dengan air sisa rebusan tahu. "Jadi, tahu direbus dua kali agar tidak mudah hancur. Namun, tidak semua tahu direbus ulang," ujarnya. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 22 Juli 2008

ATUT LESTARIKAN JAMU


Berita tentang jamu yang dicampur zat kimia membuat Atut Riwitanti (33) meradang. Pasalnya, usaha produksi jamu di sentra pembuatan jamu tradisional di Nguter, Sukoharjo, terkena imbas negatif.
Sejak berita itu merebak, kerap berlangsung razia di Pasar Nguter, pasar yang sebagian besar kiosnya diisi perajin jamu.
"Kalau mereka tidak menemukan jamu yang dicampur zat kimia, mereka lalu merazia jamu yang belum punya izin. Ujung-ujungnya mereka minta uang," kata Atut, Kamis (25/9).
Razia, menurut Atut, kerap dilakukan petugas yang mengaku berasal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan dan kepolisian. Atut mengakui, biaya mengurus izin sangat mahal, yakni Rp 3 juta untuk tiap jenis jamu.
"Padahal, satu bungkus jamu harganya hanya Rp 1.000-Rp 2.000," katanya.
Obsesi Atut adalah mendapat izin untuk semua jenis jamu yang diproduksinya. Di bawah bendera "Narodo", Atut kini memproduksi 50- an jenis jamu yang separuhnya telah memperoleh izin.
"Kami pasti mencari izinnya. Namun, karena biayanya mahal, usaha kami bertahap," katanya.
Atut yang lulusan diploma tiga perbankan "ketiban sampur" untuk meneruskan usaha produksi jamu tradisional rintisan sang ibu, Sunarti (56). Saat itu, tahun 1996, Atut baru saja lulus kuliah dan menikah. Keinginan sang ibu untuk mewariskan usaha jamunya disambut baik Atut yang memilih usaha mandiri ketimbang melamar pekerjaan di tempat orang.
Tradisi membuat jamu lalu diteruskan Atut bersama sang suami, Sigit Pramono (35). Langkah itu seperti mengulang kisah orangtua Atut yang bahu-membahu membangun usaha jamu mereka. Ayah Atut, Paimo (59), selain bertani juga membantu usaha sang istri. Demikian pula dengan Sigit dan Atut.
"Semua hal dalam mengembangkan usaha dikerjakan bersama supaya ringan. Tidak ada pembagian kerja khusus," kata Sigit.
Atut kemudian memperbaiki kemasan jamunya agar tampil lebih modern dan higienis. Selain ditempa pengalaman sejak remaja dari membantu sang ibu membuat jamu, Atut juga memperkaya pengetahuan dengan membaca buku. Hasilnya, ia menambah 10 jenis jamu baru sebagai respons terhadap pasar, antara lain jamu asam urat, jampi sirih, selo karang, dan sirih wangi. Jamu produksinya yang paling favorit adalah pegel linu.
Selain bisa untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak, hasil usaha produksi jamu juga telah membawa Atut dan suami pergi berhaji ke Tanah Suci. Lebih dari itu, dengan membuat jamu, Atut yang kini dibantu 10 pekerja merasa ikut melestarikan warisan nenek moyang. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 7 Oktober  2008

MENGULIAHKAN ANAK DARI HASIL BIKIN KOK


Tidak puas hanya menjadi pekerja, Maridi (54) memulai usaha mandiri pada tahun 1980-an. Modalnya, sedikit tabungan hasil menyisihkan sebagian penghasilan saat menjadi pekerja di usaha pembuatan kok selama dua tahun. Bidang usaha yang dipilihnya sesuai dengan keahlian dan pengetahuannya, yakni membuat kok (shuttlecock) bulu tangkis.
"Pendidikan saya hanya sekolah dasar. Wiraswasta menjadi pilihan terbaik," ujar bapak empat anak itu, Jumat (17/10).
Dari hasil usahanya, Maridi mampu menguliahkan seluruh anaknya, dua di antaranya telah bekerja. Suami Suyamti (44) itu juga berhasil membangun rumah untuk keluarganya serta menabung sejumlah uang untuk persiapan hari tua.
Kini, Maridi dengan 30 pekerjanya memproduksi 700 slope atau 8.400 buah kok per minggu. Produknya bermerek "Adinda" dan "Anak Mas" dipasarkan di sejumlah kota, seperti Semarang, Jepara, Kudus, Pati, Bandung, Yogyakarta, serta Kota Solo dan sekitarnya. Harga kok buatannya Rp 14.000-Rp 35.000 per slope isi 12 buah.
Sejak tiga tahun lalu, dia mendaftarkan kedua merek itu ke Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia untuk melindungi produknya dari pembajakan. "Sudah susah-susah membangun merek, masak ditiru seenaknya. Setelah dipatenkan, jika ada yang berani meniru, saya dapat mengajukan tuntutan hukum," katanya.
Untuk mengembangkan usahanya, Maridi harus melewati jalan penuh onak duri. Awalnya, ia membuat kok hanya dengan bantuan keluarga dan sedikit kerabat. Maridi kemudian berkeliling dengan pit kebo-nya menawarkan kok buatannya ke toko-toko.
Melalui cara itu kok produksinya terserap pasar. Untuk menembus pasar luar kota, Maridi mengambil langkah serupa. Ia pergi ke luar kota mengenalkan kok buatannya ke toko-toko.
"Memperkenalkan barang buatan kita butuh waktu dan pengorbanan. Namun, kesulitan seperti itu lebih banyak pada awal usaha. Setelah berhasil menembus pasar, kami hanya tinggal mengirimkan barang," kata Maridi di rumahnya di Kampung Makambergolo, Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo.
Kegemaran masyarakat akan bulu tangkis membuat usaha pembuatan kok berkembang. Selain di Kampung Makambergolo, di Kampung Pringgolayan, Kelurahan Tipes, Kecamatan Serengan, banyak industri rumah tangga pembuatan kok.
Menurut Maridi, permintaan pasar turun saat bulan puasa dan musim hujan. Virus flu burung pun menyebabkan dia pernah kesulitan memperoleh bahan baku. Namun, dia terus bertahan. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 18 November 2008

YULIE MANTAN APOTEKER YANG JADI PENGUSAHA AKSESORI


Kerap menyaksikan sang ayah mengolah batu alam, menumbuhkan minat dan ide pada Yulie Wijayasari (33). Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Joko Prihatmoko (65) dan Ponirah (60) itu kemudian membuat perhiasan atau aksesori perempuan berbahan utama batu alam.
Bebatuan alam itu dipadu dengan logam, kayu, tulang, dan sedikit plastik, jadilah kalung, gelang, anting, dan ikat pinggang kreasi Yulie yang bergaya etnik. Dia menjual produk buatannya dengan harga terjangkau, Rp 3.000-Rp 75.000 per buah.
Dia memulai usaha itu sejak dua tahun lalu. Saat itu, sambil belajar, Yulie membuat aksesori imitasi. Dia menawarkan aksesori buatannya kepada teman-temannya dan mereka menyukai karya Yulie.
Yulie mulai memasarkannya lebih luas, antara lain di Pusat Grosir Solo dan beberapa butik. Atas masukan butik-butik itu, Yulie mulai melirik potensi batu alam sebagai pengganti plastik agar aksesorinya berpenampilan unik dan berkelas.
"Kebetulan bapak usahanya batu alam, tetapi hanya sebatas pemotongan, pengasahan, dan pembentukan. Saya berpikir, mengapa tidak dimanfaatkan untuk aksesori," kata Yulie.
Yulie mendesain sendiri aksesorinya. Idenya dari majalah, televisi, dan masukan dari konsumen yang kemudian dipadukan dengan imajinasinya. Dia mendapat kemampuan dasar membuat aksesori dari buku-buku.
Uniknya, Yulie sejak 15 tahun lalu lebih dulu terjun ke dunia farmasi. Ia asisten apoteker di sebuah apotek di Kota Solo. "Pekerjaannya sama-sama meracik, yang satu meracik obat, yang satunya meracik aksesori. Bedanya, meracik obat harus sesuai aturan sedangkan membuat aksesori bebas berimprovisasi," kata Yulie di ruang pamernya di Jalan Senopati 1, Kedunglumbu, Solo.
Mengusung bendera Abel's Exotic and Nature Accessories yang diambil dari nama panggilan anaknya, Sigma Putri Sabila (11), Yulie menjalankan usaha yang kini dibantu tiga pekerja. Sejak booming batik, permintaan aksesori etnis ikut meningkat. Keluarganya mendukung penuh, termasuk sang suami, Gatot Santoso, yang berbisnis di bidang komputer. Gatot bersedia menggantikan Yulie menemui calon pembeli dan pelanggan saat istrinya bertugas meracik obat di apotek. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 25 November 2008

DARI PROFESIONAL KE WIRAUSAHAWAN


David kecil hobi menggambar. Obsesinya masuk Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun garis hidup berkata lain. David malah diterima di tiga fakultas favorit lewat Program Perintis, yakni Fakultas Ekonomi (FE) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo serta Fakultas Kedokteran UNS. David yang punya nama lengkap Mochammad David Rahadi Wijaya (44), memilih FE UGM.
Lulus kuliah, David yang menolak tawaran kerabatnya menjadi pegawai negeri, memilih merintis karier di sebuah perusahaan otomotif terkemuka. Ia sempat menjadi profesional di sana selama enam tahun. Saat menjabat kepala cabang di sebuah kota, David justru memutuskan mundur meninggalkan jabatan dan gajinya yang bagus. "Saya tertantang dengan permintaan ibu mertua saya untuk meneruskan usaha keluarga. Kebetulan saat itu adik-adik masih kecil," kata David beberapa waktu lalu.
Ayah dan ibu mertuanya, mendiang HM Salamun dan Alfiah, yang berasal dari sentra industri cor logam di Ceper, Klaten, 30 tahun lalu merintis usaha cor logam. Produk awalnya blok rem kereta api dan ornamen pagar. Belakangan, produksinya berkembang menjadi lampu antik dan furnitur. Tahun 1990-an, produk furnitur mereka mulai diekspor meski baru melewati tangan kedua.
Uniknya, usaha yang berbendera PT Fajar Mulia Pradipta (FMP), ini diawali dari garasi rumah mereka di Jalan Dr Wahidin 49, Solo. David yang meneruskan usaha sejak tahun 1995 berkontribusi mengembangkan usaha.
Berbagai ajang pameran yang diikuti mempertemukan dengan pembeli langsung dari luar negeri. Hingga kini, FMP mengekspor produknya ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Spanyol, Swedia, Belanda, dan Inggris.
Produk FMP memiliki ciri khas berupa furnitur yang memadukan unsur logam dan kayu dengan desain klasik, seperti besi, aluminium, dan baja. Hingga kini telah dihasilkan 800 desain produk yang sampai sekarang masih tetap digemari. "Desain klasik hampir tidak pernah basi. Produk yang kami buat 10-15 tahun lalu, sekarang ada yang memesan lagi. Pilihan ini tidak memberikan penjualan fantastis, tetapi stabil dari waktu ke waktu," jelas anak pasangan Franky Muchtar Atmaja dan Sri Rosniah ini.
Dalam menjalankan usahanya, ayah dua anak ini memegang prinsip bekerja adalah ibadah. Dengan bekal ini, menurut David, yang hobi bermain tenis dan futsal, semua kerja keras yang dijalankannya terasa ringan. 

Tulisanku seperti  termuat di Kompas (Jawa Tengah) 16 Desember 2008

INOVASI PEMANCINGAN DAN WATER BOOM


Menjadi pengikut tidak mudah. Hal ini diakui Sri Supadmi (49). Untuk itu, dia memberi nilai tambah pada usahanya agar tidak kalah bersaing dengan para pendahulunya.
Tahun 1995, Supadmi membuat usaha pemancingan ikan di rumahnya di Dusun Ngendo, Desa Janti, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Beberapa tahun sebelumnya, pemancingan sudah marak, tetapi di dusun tetangga, yakni Dusun Mangun Suparnan.
Setiap Minggu, jalan-jalan desa macet dipenuhi kendaraan yang menuju atau pulang dari tempat pemancingan. Usai makan-makan dan memancing, biasanya pengunjung pergi ke Umbul Nilo atau Umbul Cokro untuk mandi.
"Biasanya pengunjung pergi ke Umbul Nilo melewati dusun saya. Akhirnya saya buat saja tempat pemancingan. Masak dusun kami hanya dilewati, kena macetnya saja. Saat itu benar-benar sulit. Saya sampai menghadang orang, menyebar selebaran untuk mengajak orang datang ke pemancingan saya. Hari Minggu pertama saya hanya dapat Rp 17.000," kenang Supadmi saat ditemui di pemancingan miliknya, "Lumintu 1001", Jumat (9/1).
Supadmi hampir menutup pemancingannya karena usahanya tidak juga berkembang. Sementara usaha keluarga berupa perusahaan handuk yang dikelolanya bersama ayahnya, almarhum Marmo Sudirdjo, tengah membutuhkan perhatian besar.
"Harga satu set handuk ihram untuk haji waktu itu Rp 40.000 dan saat itu sedang banyak pesanan karena jumlah jamaah melonjak. Sementara pemancingan sehari hanya dapat Rp 17.000. Untung adik saya yang di Pekanbaru memberi semangat agar saya tidak cepat menyerah," kata anak ketiga dari 10 bersaudara ini.
Semangat pantang menyerahnya membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit usaha Supadmi berkembang. Bermula dari mendapat pengunjung luberan dari Dusun Mangun Suparnan, pemancingan Supadmi makin dikenal orang. Dia pun kemudian berinovasi dengan menambah fasilitas di pemancingannya. Tahun 2002 dia membangun kolam renang. Belum pernah ada sebelumnya yang melakukan itu. Pengunjung suka dengan terobosannya.
"Orang lama-lama bosan hanya makan. Sambil menunggu makanan yang dulu saat ramai baru siap setelah tiga jam, orang bisa berenang atau bermain," katanya.
Supadmi juga membangun tempat bermain anak dan menyajikan musik langsung setiap Minggu yang berganti-ganti genre musiknya. Dia memperluas lahan pemancingannya 2.500 meter persegi sehingga pemancingannya punya lahan parkir yang luas. Sesuatu yang sulit diberikan pesaingnya di dusun tetangga. Dia berniat menambah fasilitas water boom agar pasarnya tidak habis oleh pesaing yang juga menawarkan fasilitas seperti dia.
Kini, Supadmi memiliki karyawan tetap 20 orang, dari semula hanya 2 orang. Pada hari Minggu, dia merekrut pekerja lepas sehingga total menjadi 60 pekerja. Dalam seminggu, ia memasak 15 kuintal ikan lele dan kakap.
Supadmi yang hanya lulusan sekolah dasar bersyukur bisa mencapai kesuksesan seperti sekarang. "Ini berkat didikan bapak saya yang dulunya tukang batu dan ibu saya, Suparti, yang jualan pecel. Bapak gigih berjuang hingga bisa punya perusahaan handuk. Seluruh saudara saya sarjana dan berhasil berkat didikan orangtua saya," kata ibu dua anak ini. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 10 Februari 2009

SEMANGAT TUKUL MELESTARIKAN CANTING


Dua gambar canting besar berhadapan menghiasi tembok rumah Sukiman (52) di Kampung Joyotakan, Kelurahan Joyotakan, Kecamatan Serengan, Kota Solo. Di bawahnya tertulis "Canting P Tukul".
Selain sebagai penanda, gambar itu kira-kira sebagai simbol kebanggaan Sukiman yang lebih akrab disapa Tukul sebagai perajin canting. Canting digunakan untuk membatik tulis.
"Sejak kelas IV SD, saya membantu bapak saya membuat canting. Saya generasi kelima keluarga yang membuat canting," tutur Tukul sambil mengipasi bara api, beberapa waktu yang lalu.
Bara api itu untuk membakar canting yang baru saja dipatri dengan campuran kotoran ular, garam, serta leburan kuningan, tembaga, dan timah. Untuk membuat canting butuh proses cukup rumit. Lempengan tembaga dibakar lantas ditempa agar mencapai ketipisan yang diinginkan. Setelah itu digunting sesuai pola canting, dibentuk, lalu dipasang cucuk atau pipa kecil berlubang untuk keluarnya lilin, dipatri, dibakar, dicuci, digoreng, dipasang ke pegangan kayu, lantas ditekuk ujung pipanya.
Untuk memproduksi canting, Tukul dibantu istri, dua anak lelakinya, dan seorang adiknya. Canting produksi Tukul yang dijual Rp 1.500 per buah dan diproduksi sesuai pesanan pembeli dari Solo, Yogyakarta, dan Bali. Dalam sehari, mereka bisa membuat 300-400 buah canting.
"Dalam dua minggu, minimal kami dapat pesanan 1.500-2.000 canting," kata suami dari Suyamti (49) ini.
Naik daunnya batik membuat pesanan canting meningkat, yang dirasakan sebagai pesanan selalu saja ada. "Dulu pesanan tidak mesti, kadang ada, kadang tidak. Sekarang stabil," tambah Tukul.
Dari hasil membuat canting, Tukul mampu menghidupi istri dan kelima anaknya. Seluruh anaknya, ia sekolahkan hingga jenjang sekolah menengah atas. Rumahnya pun cukup mentereng di kampungnya dengan lantai keramik dan perabot lengkap.
Saat ini, Tukul merasa tinggal ia satu-satunya perajin canting di Kota Bengawan. Saat ia kanak-kanak, tidak kurang ada 10 perajin canting di Kota Solo. Dua tahun lalu, masih tersisa dua perajin lainnya. "Saat mereka meninggal, usahanya ikut ditutup karena anak- anaknya tidak ada yang meneruskan pembuatan canting karena menjadi pegawai," kata Tukul.
Ia sendiri kini telah mewarisi pengetahuan membuat canting kepada dua anak lelakinya, Catur Hananto (28) dan Wawan Indriyanto (30). Keduanya juga telah menyatakan kesediaannya meneruskan usaha sang ayah.
Tukul tidak pernah bekerja lain selain membuat canting. Ia hanya pernah tiga bulan menjadi kernet saat krisis ekonomi tahun 1998. "Setelah itu dimodali lagi oleh anak saya untuk membuat canting. Selain karena membuat canting satu-satunya kebisaan saya, saya juga ingin nguri-uri warisan mbah-mbah saya," kata Tukul. 

Tulisanku  seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 10 Maret 2009

INDRAWATI DAN KREASI PERCA BATIK


Perca batik adalah limbah. Namun, di tangan Indarwati (34) limbah itu menjadi produk bernilai ekonomi dan mengandung kreativitas tinggi. Indarwati memproduksi sandal, dompet tangan, tas, pembungkus laptop, dan dasi dari perca kain batik. Berhiaskan manik-manik, kain yang semula teronggok di sudut rumah menjelma sebagai produk yang dijajakan di hotel hingga ke luar negeri.
Indarwati mulai menggeluti usaha itu tahun 1999 setelah sebelumnya membantu usaha sang ayah, Abdul Gani, yang membuat sandal batik sejak penghujung tahun 1989. Semula, Abdul Gani membuat sandal dan selop dari kulit sintetis pada tahun 1970-an. Atas permintaan pelanggan, Abdul Gani dibantu Indarwati mulai membuat sandal yang dibungkus kain perca batik. Usaha itu lebih prospektif dibanding usaha sebelumnya yang berbahan baku kulit sintetis.
"Produk sandal batik ini peka zaman, selalu punya pasar," kata Indarwati yang tengah hamil anak kedua, di rumahnya di Kampung Joyodi-ningratan, Kelurahan Kratonan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, April lalu.
Indarwati yang semula membantu sang ayah memutuskan terjun total ke dunia produk dari perca batik. Dia membuat dompet, tas, dasi, dan tas pembungkus laptop dari perca batik. Dia memulai usaha itu tahun 1999 setelah memiliki anak pertama. Sebelumnya, dia pernah menjajal posisi tenaga pemasaran sebuah pabrik karung plastik selama tiga tahun.
Selain memberi penghasilan lebih besar, bekerja di rumah membuatnya tetap dapat mengasuh sang buah hati yang kini berusia 10 tahun. Indarwati dan ayahnya kini bermitra dengan 12 orang yang mengerjakan produknya dari rumah masing-masing.
Setiap bulan, Indarwati dan ayahnya menghasilkan 3.000-5.000 sandal dan 300-500 dompet. Pemasaran produk di Pasar Klewer oleh sang ibu, Supini. Sebagian besar produk mereka pesanan pelanggan, antara lain hotel di Lembang, Jawa Barat.
Produk sandalnya juga pernah menjadi suvenir untuk peserta Konferensi Kota-kota Pusaka Dunia dan Musyawarah Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Solo. Sandal batik itu kemudian diekspor ke beberapa negara oleh pembelinya.
Harga sandal tersebut Rp 7.500-Rp 12.500 per buah bergantung tingkat kerumitan model. Harga dompet Rp 4.000-Rp 40.000 per buah. Sementara harga dasi Rp 35.000 per buah.
Bahan untuk dompet dan dasi adalah kain batik tulis sutra ATBM (alat tenun bukan mesin), sedangkan sandal dan lainnya dari kain batik nontulis.
Seorang pengepul perca batik rutin menyetor bahan baku kepada Indarwati yang membelinya seharga Rp 10.000 per kilogram. Sementara harga kain perca batik tulis sutra ATBM Rp 40.000 per kilogram. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 12 Mei 2009

HERU PEMBUAT MAINAN ANAK RAMAH LINGKUNGAN


Herumanto Moektijono (44) tidak pernah menduga jalan hidup akan membawanya seperti sekarang ini, menekuni dunia mainan anak-anak. Herumanto, yang akrab dipanggil Heru, awalnya membuka usaha desain interior. Kliennya banyak meminta desain interior untuk kamar anak. Dari sini ia melihat, bidang ini belum banyak digarap dengan serius.
"Padahal, anak-anak peka keindahan. Namun kerap anak-anak hanya diberi penataan yang asal-asalan," kata Herumanto di bengkel kerjanya di Tohudan, Colomadu, Karanganyar, Senin (18/5).
Pada tahun 2007 ia memberanikan diri mengikuti pameran di Malioboro Mall, Yogyakarta, dengan mebel dan mainan anak-anak produksinya. Animo yang besar, terutama pada mainan, membuatnya memutuskan menggeluti dunia mainan anak lebih serius.
Produknya yang halus dan inovatif membuat pasar merespons positif. Kini tak kurang dari ratusan jenis mainan anak-anak diproduksinya. Produksinya dibagi menjadi tiga macam, furnitur, aksesori ruangan, dan mainan anak, seperti meja, kursi, teka-teki (puzzle), baju mainan, dan menara kotak lingkar. Tiap bulan ia mengeluarkan dua-lima desain baru.
Tahun 2008, saat penyelenggaraan Konferensi Kota-kota Pusaka Dunia, Heru terinspirasi untuk mengangkat warisan budaya lokal dalam mainan anak karyanya. Jadilah motif batik, keris, dan wayang menjadi tema mainan karyanya, seperti dalam puzzle. Heru mengutamakan orisinalitas dalam karyanya.
"Tidak ada karakter luar negeri, seperti Disney dalam mainan saya. Bukan tidak baik tetapi saya lebih suka mengajak anak mengenali alam dan budaya lokal, misalnya dengan bentuk kepik, capung atau rajamala," kata Heru, yang juga hobi fotografi.
Keasyikan
Lama-lama Heru menemukan keasyikan dalam dunia ini dan kini justru lebih berfokus pada produksi mainan anak-anak meski tidak meninggalkan desain interior. Furnitur hanya dibuat jika ada pesanan.
"Kalau mau cari uang, desain interior memberi materi lebih besar. Namun dari segi kepuasan, saya lebih senang membuat mainan anak-anak karena menantang kreativitas dan bebas berkreasi. Dalam desain interior saya mengikuti kemauan klien," kata Heru.
Kualitas mainan anaknya selain halus dan rapi juga menggunakan cat tak beracun (nontoxic) agar tidak membahayakan anak. Kini Heru tengah meneliti penggunaan batok kelapa, rotan, dan daun-daunan sebagai bahan baku mainan untuk melengkapi karyanya yang selama ini dibuat dari kayu lapis jenis medium density fiberglass.
Mainan karya Heru dibandrol harga Rp 9.000-Rp 150.000, sedangkan furniturnya satu set mencapai Rp 5 juta. Produknya bisa ditemui di Solo Square dan Solo Grand Mall dengan label Cil-Cil, selain di websitenya di www.cil-cil.com. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 2 Juni 2009.

EDI SI KREATOR WAYANG BATIK


Terinspirasi oleh Solo Batik Carnival atau SBC tahun 2008, Ami Joyo Warso Edi menciptakan wayang batik carnival. Wayang ini seperti wayang golek, tetapi menggunakan kostum seperti yang digunakan peserta SBC, khas kostum karnaval yang terkesan megah.
Padahal Edi, panggilan akrabnya, hanya memanfaatkan perca batik. Dibungkus kreativitas dan keuletan yang tinggi, jadilah produk wayang yang tak kalah megah seperti halnya penampilan peserta karnaval.
Edi sebenarnya bergerak di bidang jasa konstruksi yang lantas mengembangkan usaha furnitur antik. Persentuhannya dengan barang-barang antik mengasah naluri seninya. Dibantu beberapa asisten, Edi menyalurkan ide dan kreativitasnya dalam menciptakan wayang batik carnival.
"Dua minggu sebelum SBC tahun 2008, saya membuat wayang batik carnival. Bermodal foto-foto di media tentang ekspos rencana SBC, jadilah tiga buah wayang," kata Edi saat dijumpai di rumahnya di Jalan Lesanpuro, Jamsaren, Solo, beberapa waktu lalu.
Tiga karyanya yang dipamerkan di ajang Srawung Batik yang digelar bersamaan dengan perhelatan SBC 2008 mendapat apresiasi positif, baik dari panitia maupun Wali Kota Solo Joko Widodo. Edi pun semakin mantap berkarya. Pernah dia memajang foto sebuah karyanya di situs internet seorang teman. Seorang pembaca dari Eropa menyatakan minatnya memesan 60.000 buah wayang karnaval tersebut.
"Dia pikir itu produk massal seperti boneka Barbie. Saya sendiri tidak mampu memenuhi pesanan itu karena ini produk kerajinan tangan, bukan mesin, sehingga sulit untuk mengejar jumlah banyak dalam waktu singkat," kata Edi.
Kini, secara rutin Edi mengenalkan produknya di Night Market Ngarsapura yang buka setiap malam Minggu di depan kompleks Pura Mangkunegaran, Solo. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pernah membeli sebuah wayang batik carnivalnya yang menggunakan kostum batik bernuansa putih. "Sejak itu, banyak orang minta dibuatkan wayang serupa," kata ayah tiga anak ini sambil tertawa.
Beberapa tamu resmi Kota Solo dari berbagai negara yang diajak wali kota mengunjungi Night Market Ngarsapura juga memboyong karya Edi ke negara masing-masing.
Total, Edi telah membuat 30 karya wayang batik carnival yang dibuat dari bahan baku kayu sengon laut, pule, atau trebelo puso. Saat ini dia tengah mencoba membuat figur aksi (action figure) dari bahan akrilik dengan kostum batik carnival atau tokoh pewayangan. Mimpinya adalah anak-anak Indonesia punya action figure-nya sendiri, tidak hanya tokoh Naruto atau tokoh komik Marvel dari luar negeri.
Edi telah membuat action figure tokoh punakawan, gatot kaca, arjuna, dan werkudara. Dia juga membuat kaus bergambar wayang batik carnival. Ide seakan berdesakan keluar dari kepalanya. Ke depan, bukan hanya batik, tetapi juga kain-kain tradisional yang ingin dikenakannya di wayang dan action figure kreasinya. Namun, satu idealisme tetap Edi pegang, yakni menggunakan bahan daur ulang. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 7 Juli 2009

SEPATU DRUMBAND PAK DOLIT


Membuat sepatu adalah keahlian satu-satunya Dolit Widodo (55). Keterampilan ini diwarisi dari sang ayah, mendiang Harjo "Londo" yang pembuat sepatu dan penyanyi keroncong. Berbeda dengan ayahnya, Dolit memilih fokus pada pembuatan sepatu yang dipakai pemain dan mayoret drumband/marching band.
Kini, sebanyak 75 persen sepatu produksinya yang diberi nama "Dolita" merupakan sepatu drumband jenis boot. Sisanya, sepatu pesanan pelanggan untuk keperluan harian atau pesta.
Awalnya, Dolit hanya bantu ayahnya, namun sejak tahun 1982, dia memilih mandiri. Usahanya bergerak maju karena tidak banyak pesaing. Baru sejak lima tahun lalu, bermunculan perajin baru dengan spesialisasi sepatu drumband. Kini ada 10 perajin sepatu drumband di Kota Solo. Jika musim lomba drumband, jumlah perajin lebih banyak lagi karena muncul perajin musiman.
"Selama masih ada kelompok drumband dan lomba drumband, kami masih dapat bertahan," kata Dolit, Senin (29/3).
Kebanyakan konsumennya adalah siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Jarang siswa SMP dan SMA yang menggeluti kegiatan drumband saat ini. Selain sepatu, Dolit juga melayani pembuatan kostum drumband yang dimulai sejak 2 tahun lalu. Sang istri, Endang Sunarmi, yang menangani pesanan kostum. Ini dikerjakan penjahit yang merupakan tetangganya sendiri.
"Banyak pelanggan inginnya pesan sepatu sekaligus pesan kostum di satu tempat," kata ayah tujuh anak ini saat ditemui di rumahnya yang sekaligus tempat produksi sepatu di Kampung Sangkrah, Kelurahan Sangkrah, Pasar Kliwon, Kota Solo.
Dolit dibantu 2-3 pekerja. Di musim kompetisi drumband, pekerjanya bisa menjadi lima orang. Harga satu paket, terdiri atas sepatu, kostum, dan topi drumband kualitas sedang Rp 125.000, untuk kualitas terbaik mencapai Rp 450.000. Sedangkan sepatu pesanan dimulai dari harga Rp 60.000 per pasang bergantung pada bahan dan tingkat kerumitan pembuatan. Ia mengeluhkan harga bahan baku yang terus meningkat.
Selain di Solo, sepatu Dolit juga dipasarkan ke Yogyakarta, Semarang, dan Sulawesi. Hingga kini, Dolit mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah atau perbankan. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 30 Maret 2010