Wednesday 19 November 2014

BESTIK LIDAH YANG BIKIN GOYANG LIDAH

Rinai hujan baru saja membasahi jalanan kota Solo, Sabtu (18/3) petang. Rasanya itu tidak menghalangi niat mencari tempat yang menyajikan masakan olahan lidah sapi kegemaran kami. Tempat itu kami temukan di Jalan Dokter Rajiman.
Harjo Bestik. Tulisan berwarna merah pada spanduk putih di bagian depan warung kaki lima itu sepintas biasa saja, tidak ada yang istimewa. Bagi sebagian besar penggemar steak, warung ini mungkin tak ubahnya warung steak kaki lima yang menjamur di kota-kota besar.
Namun, sekali menyimak daftar menu yang ditawarkan Harjo Bestik, niscaya kita akan tercengang. Aneka menu bestik seperti bestik telon yang terdiri dari tiga jenis daging sesuai pilihan pembeli, bestik uritan (calon telur ayam), bestik brutu, dan bestik dadar lidah adalah sejumlah menu bestik yang ditawarkan. Sungguh tawaran yang tidak biasa.
Malam itu kami memesan masing-masing seporsi bestik campur dan bestik dadar lidah, serta dua piring nasi putih. Begitulah adat di warung makan kaki lima ini, makan bestik ditemani nasi putih. Tidak lupa segelas es jeruk dan wedang cokelat turut dipesan.
Lebih kurang 30 menit pesanan kami tiba. Kepulan asap menebar harum aroma kuah bestik yang segera merangsang pencernaan kami. Sekali menyendok bestik ini rasanya sukar berhenti karena keempukan daging maupun lidah sapi yang berpadu dengan kesegaran kuah bestiknya.
"Sejak dahulu, kakek saya, Mbah Harjo, pendiri warung ini, sudah memasak bestik seperti ini. Bestik dengan kuah banyak atau nyemek dalam istilah orang Jawa," ujar Mujiyati (40), generasi ketiga Harjo Bestik, saat ditemui Sabtu malam itu.
Bukan hanya kecakapan Mbah Harjo yang membuat bestik ini lekat dengan lidah orang Jawa, tetapi juga keahlian Mbah Harjo dalam mengkreasikan aneka organ tubuh ayam maupun sapi untuk diolah dalam kuah bestiknya.
"Elek-elekan"
Satu porsi bestik lidah terdiri atas lima potongan lidah sapi bersanding dengan irisan kentang, wortel, selada hijau, tomat, acar timun, dan mayones atau moster. Kuah kecoklatan yang meredam lidah dan aneka sayuran itu diolah dari tumisan mentega, bawang merah, bawang bombai, ditambah kuah kaldu ayam, kecap manis dan asin, garam, serta merica.
Untuk bestik campur, penyajiannya hampir serupa denganbestik lidah hanya ditambah daging sapi cacah. Sementara untuk bestik dadar lidah, pembeli dapat menikmati potongan lidah sapi yang terbungkus dalam telur dadar goreng terendam dalam kuah bestik.
Keempukan lidah sapi di Harjo Bestik tidak terlepas dari lamanya waktu pemasakan lidah. Mujiyati senantiasa merebus lidah sapi selama empat jam agar empuk. Saat akan dimasak sebagai bestik, lidah itu kemudian dipotong-potong kecil dan dicampur dengan tumisan bumbu kuah bestik.
"Menu favorit pengunjung adalah bestik lidah. Akan tetapi, kami juga masih memiliki menu favorit lain seperti risoles kuah, elek- elekan, dan bakmi," ujar Mujiyati.
Mendengar menu elek-elekan (bahasa Jawa dari kata jelek-jelekan), kening kami sempat berkerut. Rasa-rasanya dari sekian menu yang tercantum dalam daftar menu Harjo Bestik, nama ini tidak kami temui. Setelah kami tanyakan menu ini kepada Mujiyati, sontak kami langsung tertawa mendengar penjelasannya.
Menurut Mujiyati, elek-elekan adalah menu yang diciptakan dari bonggol lidah sapi yang tidak terpakai di bestik. Awalnya, bonggol- bonggol lidah sapi itu digoreng Mujiyati untuk disantapnya sendiri bersama sambal kecap atau sambal bawang ditemani nasi putih.
Ia tidak pernah menawari menu ini secara terang-terangan karena dinilai kurang layak disandingkan dengan menu bestik di warungnya. Suatu ketika, seorang pelanggan melihat gorengan bonggol lidah sapi itu dan tertarik mencoba.
"Sejak saat itu, jika pelanggan itu datang, ia tak lupa memesan elek-elekan lengkap dengan sambal kecapnya. Lama kelamaan pelanggan yang lain tahu tentang elek-elekan dan turut memesan," tuturnya.
Meski elek-elekan sudah punya banyak penggemar, Mujiyati tetap tidak mau mencantumkan menu itu dalam daftar menu Harjo Bestik. Baginya, promosi elek-elekan cukup dari mulut ke mulut saja.
Bercampur harum bunga
Menyantap bestik di warung kaki lima di Jalan Dokter Rajiman dan dekat dengan Pasar Kembang ini terasa istimewa. Kuah bestik jowo sesekali berpadu dengan harum bunga yang dijual di Pasar Kembang. Suasana jalanan dan wajah kota Solo yang tak pernah tidur juga bisa dinikmati di warung yang telah berusia lebih kurang 60 tahun ini, yang menurut Mujiyati dimulai Mbah Harjo sejak menjelang perang kemerdekaan Indonesia.
Untuk menikmati aneka bestik jawa khas Solo ini cukup membayar Rp 9.000-Rp 13.000 per porsi. Warung bestik kaki lima ini buka setiap hari dari pukul 18.00 hingga 00.30. Selain bestik, juga ditawarkan menu lain seperti bakmi, kamar bola, nasi goreng krukup, dan banyak menu lain.
Warung ini dikunjungi orang dari berbagai lapisan. Mereka menikmati santapan menu bestik favoritnya di atas bangku kayu panjang sambil menikmati suasana malam kota Solo.
Tidak terasa, jam di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul 21.30. Dengan berat hati, tetapi perut kenyang, kami meninggalkan Harjo Bestik beserta segala suasana kekhasan warung kaki limanya. Tentu saja, sebagai penggemar lidah sapi, terbit rasa mengganjal di hati kami karena belum mencicipi elek-elekan. Suatu waktu kami pasti kembali....

Tulisanku dan Komang Arianti seperti termuat di Kompas, 2 April 2006

No comments:

Post a Comment