Wednesday 19 November 2014

LULUSAN SD YANG MENJADI EKSPORTIR


Kecerdasan berbisnis boleh jadi tidak bergantung pada kemampuan akademis. Samidi Budi Raharjo (52) buktinya. Laki-laki yang hanya lulusan sekolah dasar ini mampu menjadi eksportir dengan omzet miliaran rupiah. Samidi awalnya hanya pekerja di sebuah perusahaan ukir kaca. Beberapa tahun bekerja, ia memutuskan keluar dan membuat usaha sendiri.
Usaha itu dimulainya tahun 1988. Dibantu dua pekerja, mereka membuat beberapa buah produk ukir kaca. Hasilnya dijajakan sendiri dari pintu ke pintu calon pelanggan. "Modal saya waktu itu Rp 1,5 juta hasil pinjaman orang," kata Samidi beberapa waktu lalu.
Titik balik roda usahanya terjadi pada tahun 1989. Saat itu, seorang temannya mengajak seorang pembeli dari Jerman datang ke tempat usaha Samidi. Orang Jerman itu lalu memesan beberapa sampel produk. Karena puas dengan produk buatan Samidi, pesanan bertambah dan sejak itu Samidi menjadi eksportir ukir kaca.
Pasarnya kini merambah negara-negara di berbagai benua, seperti Australia, Inggris, Perancis, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Berbagai produk furnitur dan barang rumah tangga lainnya tidak luput dari sentuhan ukir kaca. Harga produknya dipatok Rp 300.000-Rp 3 juta per unit.
Selama lima tahun pertama, Samidi membuka bengkel kerja di kawasan Manahan, Solo. Setelah listrik menerangi kampungnya di Bakipandeyan, Baki, Sukoharjo, Samidi memindahkan bengkel kerjanya ke Bakipandeyan dan bertahan hingga sekarang. Gantian jaringan telepon yang belum merambah kampungnya, niat ayah empat anak ini membuat situs usahanya belum tercapai.
Untuk mempertahankan pelanggan, Samidi selalu menjaga kepercayaan. Sebagai contoh, beberapa pelanggan memintanya agar merahasiakan desain produk yang mereka pesan. "Ya, saya jaga betul rahasianya. Kalau tidak, pelanggan bisa kabur," katanya.
Usaha Samidi kini dibantu 57 karyawan. Nilai volume ekspornya rata-rata Rp 2 miliar per tahun. Sayangnya, dengan kenaikan sejumlah bahan baku dan penunjang, usaha ukir kaca, termasuk yang dikelola Samidi, lesu
"Kami harus menaikkan harga jual kalau tidak mau rugi. Akibatnya, beberapa pembeli menunda atau beralih ke produk negara lain. Serba salah," ujar Samidi.
Pengalaman begini bukan yang pertama baginya. Namun berbagai cobaan justru semakin meyakinkan Samidi untuk tetap menekuni ukir kaca. "Anak-anak saya larang jadi pegawai negeri. Lebih baik jadi wiraswasta saja, lebih mandiri," katanya terkekeh. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 27 Mei 2008

No comments:

Post a Comment