Wednesday 19 November 2014

ATUT LESTARIKAN JAMU


Berita tentang jamu yang dicampur zat kimia membuat Atut Riwitanti (33) meradang. Pasalnya, usaha produksi jamu di sentra pembuatan jamu tradisional di Nguter, Sukoharjo, terkena imbas negatif.
Sejak berita itu merebak, kerap berlangsung razia di Pasar Nguter, pasar yang sebagian besar kiosnya diisi perajin jamu.
"Kalau mereka tidak menemukan jamu yang dicampur zat kimia, mereka lalu merazia jamu yang belum punya izin. Ujung-ujungnya mereka minta uang," kata Atut, Kamis (25/9).
Razia, menurut Atut, kerap dilakukan petugas yang mengaku berasal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan dan kepolisian. Atut mengakui, biaya mengurus izin sangat mahal, yakni Rp 3 juta untuk tiap jenis jamu.
"Padahal, satu bungkus jamu harganya hanya Rp 1.000-Rp 2.000," katanya.
Obsesi Atut adalah mendapat izin untuk semua jenis jamu yang diproduksinya. Di bawah bendera "Narodo", Atut kini memproduksi 50- an jenis jamu yang separuhnya telah memperoleh izin.
"Kami pasti mencari izinnya. Namun, karena biayanya mahal, usaha kami bertahap," katanya.
Atut yang lulusan diploma tiga perbankan "ketiban sampur" untuk meneruskan usaha produksi jamu tradisional rintisan sang ibu, Sunarti (56). Saat itu, tahun 1996, Atut baru saja lulus kuliah dan menikah. Keinginan sang ibu untuk mewariskan usaha jamunya disambut baik Atut yang memilih usaha mandiri ketimbang melamar pekerjaan di tempat orang.
Tradisi membuat jamu lalu diteruskan Atut bersama sang suami, Sigit Pramono (35). Langkah itu seperti mengulang kisah orangtua Atut yang bahu-membahu membangun usaha jamu mereka. Ayah Atut, Paimo (59), selain bertani juga membantu usaha sang istri. Demikian pula dengan Sigit dan Atut.
"Semua hal dalam mengembangkan usaha dikerjakan bersama supaya ringan. Tidak ada pembagian kerja khusus," kata Sigit.
Atut kemudian memperbaiki kemasan jamunya agar tampil lebih modern dan higienis. Selain ditempa pengalaman sejak remaja dari membantu sang ibu membuat jamu, Atut juga memperkaya pengetahuan dengan membaca buku. Hasilnya, ia menambah 10 jenis jamu baru sebagai respons terhadap pasar, antara lain jamu asam urat, jampi sirih, selo karang, dan sirih wangi. Jamu produksinya yang paling favorit adalah pegel linu.
Selain bisa untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak, hasil usaha produksi jamu juga telah membawa Atut dan suami pergi berhaji ke Tanah Suci. Lebih dari itu, dengan membuat jamu, Atut yang kini dibantu 10 pekerja merasa ikut melestarikan warisan nenek moyang. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 7 Oktober  2008

No comments:

Post a Comment