Saturday 25 October 2014

LAWEYAN, BELANJA BATIK BONUS WISATA SEJARAH


Sekitar akhir abad ke-19 dan ke-20, sebuah kampung di Solo, Jawa Tengah, terkenalSebagai  pusat perdagangan batik Indonesia. Di kampung inilah batik tulis dan cap diproduksi, kemudian didistribusikan ke seluruh Nusantara hingga luar negeri. Tak hanya melahirkan saudagar-saudagar batik yang termasyhur namanya, di kampung ini juga lahir tokoh pergerakan nasional lewat Sarekat Dagang Islam, KH Samanhoedi.

Laweyan, itulah nama yang terkenal dengan kawasan Kampoeng Batik Laweyan. Deretan tembok kuno setinggi 5-7 meter yang berdiri kokoh di beberapa jalan sempit menuju kawasan kampung batik itu merupakan peninggalan saudagar-saugadar batik di daerah tersebut.Jalan-jalan sempit yang masuk dari Jalan Radjiman, Solo, itu seakan menjadi gerbang sebelum menelusuri rumah-rumah batik atau gerai batik yang tersebar di kampung tersebut.

Ketika menapaki jalan-jalan di Kampoeng Batik Laweyan, pengunjung seakan menapak tilas dan mengenang kejayaan batik di daerah yang pernah menjadi tempat bermukim Kyai Ageng Henis, keturunan Raja Brawijaya V dari Majapahit.

Di kampung ini banyak gang sempit yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Konon, selain untuk menjaga kerahasiaan usaha batik, tembok-tembok tinggi yang mengelilingi rumah menyerupai benteng itu juga dibangun karena para saudagar berusaha menciptakan daerah ”kekuasaan” di lingkungan mereka. Zaman dulu, pintu-pintu rumah itu jarang dibuka lebar.
Bahkan, di antara tembok-tembok tinggi tersebut ada sebuah rumah besar perpaduan arsitektur Eropa dan Jawa seluas 1.800 meter persegi. Rumah di Jalan Sidoluhur 18 yang dibangun tahun 1915 oleh pemiliknya, Tjokrosoemarto (almarhum), ini masih berdiri megah dengan nuansa keindahan tempo dulu. Hampir setiap sudut rumah, termasuk perabotan, dipenuhi beragam motif batik. Orang Solo menyebut rumah ini sebagai nDalem Tjokrosoemartan.

Semakin dalam menyusuri Kampoeng Batik Laweyan, pengunjung bisa menemukan rumah-rumah berarsitektur Jawa dengan atap limasan yang menjadi toko atau gerai batik sekaligus tempat produksi atau gudang batik. Beberapa menambah menambah kaca transparan di bagian depan rumah agar produk-produk batik yang dipajang terlihat dari luar.

Deretan papan nama setiap gerai batik pun langsung menyambut pengunjung. Di tiap gang ada petunjuk galeri-galeri batik. Jika datang membawa mobil pribadi, mobil bisa diparkir di dalam kampung batik tersebut. Namun, jika menggunakan bus, bus bisa diparkir di pinggir Jalan Radjiman, kemudian pengunjung berjalan kaki ke Kampoeng Batik Laweyan atau naik becak.
Rumah-rumah batik yang biasanya dibuka mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 ini menawarkan berbagai produk batik, mulai dari kain, pakaian, kaus, serta berbagai kerajinan dari batik (seprai, tas, sandal, dan sepatu), hingga perlengkapan interior rumah dari aplikasi batik. Produk ini dibuat dari kain batik berbahan katun, sutra, satin, dorby, paris, atau primis-primissima dengan beragam motif.
Biasanya, ketika berbelanja, pengunjung langsung dilayani pemilik rumah batik. Kendati hanya disuguhi air mineral, karena berada di rumah, suasana belanja kadang tidak terasa seperti di toko. Pengunjung sering larut dalam obrolan dengan pemilik rumah batik. Beberapa rumah batik dibuka hingga bagian dalam rumah sehingga pengunjung bisa duduk selonjoran di lantai sambil memilih-milih batik yang akan dibeli. Untuk kenyamanan pengunjung, beberapa butik menggunakan pendingin ruangan.
Bagi yang belum pernah melihat pembuatan batik, di sejumlah rumah batik, pengunjung bisa menyaksikan cara membuat batik, bahkan bisa ikut coba-coba memegangcanting (alat untuk membatik) dan menorehkan malam (lilin) ke kain-kain putih yang disediakan pemilik rumah batik. Beberapa menempatkan pekerjanya yang tengah membatik di bagian depan rumah sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi calon pembeli.
Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan yang menjadi wadah perajin batik di Laweyan menawarkan kursus singkat membatik selama dua jam dengan biaya Rp 30.000 per orang dan peserta minimal 10 orang. Hasil karya dan canting dibawa pulang. Jika menambah Rp 10.000 per orang, pengunjung mendapat makanan dan minuman khas Jawa.
Setiap rumah batik biasanya punya ciri khas sendiri-sendiri dalam hal motif dan potongan busana. Ini karena sebagian besar dari mereka memproduksi sendiri kain batik atau busana yang ditawarkan. Umumnya batik yang dijual dari batik tulis dan cap, tetapi beberapa sudah mulai menawarkan printing (tekstil bermotif batik).
Harga produk batik pun bervariasi, mulai dari Rp 50.000 hingga jutaan rupiah, tergantung dari bahannya. Jika terbuat dari batik tulis, apalagi yang menggunakan bahan pewarna alami, harga sepotong kain batik tulis bisa di atas Rp 500.000.
Untuk pembayaran, bagi yang tidak membawa uang tunai cukup, jangan khawatir. Beberapa rumah batik sudah menyiapkan alat pembayaran elektronik untuk kartu debet atau kartu kredit. Namun, jumlahnya belum begitu banyak.
Untuk melayani para pembeli, satu-dua galeri batik di Laweyan mulai memberanikan membuka pelayanan hingga 24 jam, terutama di Jalan Radjiman, seperti Batik Beteng dan Batik Omah Laweyan. Biasanya toko dibuka 07.30-22.00. Namun, di luar jam itu, pembeli yang datang dibukakan pintu oleh pramuniaga yang berjaga.
Toko-toko ini biasanya berupaya jemput bola dan melihat peluang seringnya tamu kesulitan memperoleh batik di luar ”jam normal”. Pelayanan 24 jam terutama bagi tamu luar kota yang ingin beli oleh-oleh batik, tetapi waktunya terbatas karena mengikuti acara seharian dan harus pulang keesokan harinya. Bahkan, ada yang memberi layanan antar jemput gratis bagi tamu dari penginapan ke rumah batiknya.
Jika masih ada waktu, beberapa situs sejarah juga menanti dikunjungi, antara lain Masjid Laweyan yang menjadi satu kompleks dengan makam Kyai Ageng Henis dan Kyai Ageng Beluk, situs rumah dan makam KH Samanhoedi (pendiri Sarekat Dagang Islam), situs Bandar Kabanaran, Langgar Merdeka, serta Langgar Laweyan. Kuliner lokal, seperti apem dan leker khas Laweyan, juga layak dibawa sebagai oleh-oleh. Jika ingin semakin menyelami atmosfer Laweyan, beberapa hotel dan penginapan siap menaungi tidur Anda, misalnya Roemahku dan Hotel Laweyan.

BOTOK TELUR ASIN BU LESTARI


Kalau bicara makanan botok, biasanya orang langsung akan teringat pada botok teri atau botok mlanding (petai china). Namun, di Solo ternyata ada juga botok yang terbuat dari telurasin yang rasanya cukup untuk menambah pengalaman petualangan lidah kita di dunia kuliner.
Sajian makanan ini bisa ditemui di warung makan "Gudeg Yogya" di Jalan Hasanudin Nomor 35 di Kota Solo.

Di warung milik Darmi Lestari (57) yang akrab dipanggil Bu Lestari, sejak dua tahun lalu tersedia botok telur asin. Makanan ini menjadi salah satu menu andalan di warung makan tersebut.
Seperti namanya, botok telur asin dibuat dari telur bebek mentah yang diasinkan. Lestari menggunakan bumbu berupa bawang merah, bawang putih, garam, dan gula pasir yang diulek, serta tomat dan cabai hijau yang diiris tipis ditambah santan. Untuk membungkus digunakan daun pisang.
"Saya taruh daun salam dan kemangi di atas daun pisang, lalu santan, bumbu, tomat, dan cabai. Baru kemudian telur asin yang dipecahkan dimasukkan ke atas campuran bumbu," kata Lestari, Senin (22/11).

Bungkusan berisi racikan tadi kemudian dikukus dan dalam waktu 1 jam sudah matang menjadi botok. Meskipun telur yang digunakan dalam keadaan mentah, karena telah diasinkan, kuningtelur telah menggumpal sehingga masir telur akan tetap terasa saat botok matang. Rasanya pun tidak seasin jika kita memakan telur asin rebus.

Botok telur asin buatan Lestari ini rasanya gurih dan pedas dengan tambahan aroma khas daun pisang yang menambah sedap masakan. Bumbunya terasa pekat sehingga satu bungkus botok cukup jika ingin dinikmati oleh dua orang.

Lestari mengaku mendapat ide membuat botok telur asin ketika pada suatu saat dibawakan oleh-oleh botok telur asin oleh anaknya dari Surabaya. Ia kemudian mereka-reka bumbu dan cara pembuatannya.

"Awalnya telur saya kocok ternyata bumbunya jadi tidak merata. Sekarang telur putih dan kuning saya pisahkan," ungkap Lestari.

Untuk menikmati sebungkus botok telur asin cukup mengeluarkan Rp 4.000.
Selain botok telur asin dan gudeg, warung Bu Lestari yang terletak tidak jauh dari rel kereta api ini juga menyediakan masakan garang asem serta nasi kuning dan nasi langgi. Tiga menu terakhir biasanya dibuat berdasarkan pesanan.

Warung ini buka setiap hari pukul 05.30-16.30 termasuk pada tanggal merah. Warung ini hanya tutup jika pekerjanya libur. Lestari mengawali usahanya dari sebuah meja di depan rumahnya di Jalan Hasanudin itu. Awalnya ia berjualan gudeg di sela-sela pekerjaan utamanya menerima pesanan jahitan pakaian. Dua tahun kemudian ia mengembangkan warungnya dengan memanfaatkan teras rumahnya yang diisi deretan meja dan kursi.

Belakangan Lestari memilih meninggalkan pekerjaan menjahitnya dan berkonsentrasi pada usaha warung makan. Tak hanya botok, di Solo, masakan gudeg Bu Lestari cukup terkenal dan menjadi pilihan yang mengasyikkan saat sarapan atau makan siang. 

MENIKMATI SATE KELINCI DI BAWAH DERAI AIR TERJUN

Sate kelinci, bagi sebagian orang, mengingatkan pada obyek wisata Tawangmangu yang terletak 40 kilometer dari Kota Solo dan masuk wilayah Kabupaten Karanganyar.
Meski terdapat di kota lain, sate kelinci sejak berpuluh-puluh tahun lalu paling banyak ditemukan di daerah berhawa dingin. Kata orang, belum lengkap kalau belum menyantap sate kelinci saat berkunjung ke Tawangmangu.

Rasa daging sate kelinci yang khas, empuk, dan agak manis yang dituang bumbu kacang atau kecap, menjadi pilihan para penggemar sate Namun ternyata, sate kelinci tidak hanya terkenal di kawasan Tawangmangu, Solo, atau sekitarnya, tetapi juga hingga ke luar negeri.
Kalau Anda "iseng-iseng" mencari kata kunci sate kelinci di situs mesin pencari, Anda akan temukan banyak tulisan tentang itu, tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, atau Jerman yang menyebut tentang sate kelinci dan Tawangmangu.

Itu menunjukkan jenis makanan eksotik yang satu ini cukup terkenal di kalangan pemburu makanan enak di seluruh dunia. Di daerah wisata Tawangmangu bisa ditemui puluhan penjual sate kelinci yang kebanyakan juga menjual sate ayam. Pengunjung bebas memilih akan menyantap sate kelinci di warung mana saja yang disukai. Tetapi kalau ingin terasa "beda", kita bisa datang ke penjual sate yang mangkal di dalam lokasi hutan wisata Grojogan Sewu.

Di dalam hutan wisata terdapat 15 penjual sate kelinci. Lokasinya tersebar di berbagai titik, antara lain di dekat kolam renang, taman, atau rimbunan pepohonan.
Kalau suka, Anda bisa memilih lokasi penjual sate yang lokasinya tidak jauh dari air terjun setinggi 100 meter dengan luncuran airnya yang deras.

Di bawah pohon rindang, sambil menikmati gemercik air terjun dan sungai yang mengalir di bawahnya, serta bau harum pepohonan, pengunjung dapat menikmati sate hangat yang disajikan Pak Kini. Pak Kini telah berjualan sate kelinci selama 34 tahun di kawasan wisata Tawangmangu.

Sekarang, ia tidak lagi menjaga sendiri warung satenya, tetapi menyerahkannya kepada orang lain, yakni Parmin (27). Saat pembeli membeludak, Parmin ditemani Gimanto (30).
***

Satu porsi sate kelinci berisi 10 tusuk sate yang dilengkapi lontong, seharga Rp 5.000. Harga yang ditetapkan seragam, sesuai perjanjian seluruh pedagang di dalam hutan wisata, Persatuan Pedagang Bina Wisata (Perdabita). Dalam berdagang pun, mereka menggunakan seragam kemeja khusus berwarna hitam yang bertuliskan Perdabita.

Daging sate kelinci yang belum dibakar berwarna putih karena sebelumnya, setelah dipotong-potong dan ditusuk, dicelupkan ke air panas lalu ditiriskan.
Itu dimaksudkan untuk menghilangkan bau amis daging dan membuat daging lebih cepat menyerap bumbu dan matang saat dibakar. Tidak heran, menurut Parmin, sate kelinci lebih cepat matang saat dibakar dibanding sate ayam. "Daging ayam mengandung lemak, jadi dagingnya seperti agak basah dan lama matangnya." Katanya.

Tidak ubahnya sate kambing atau ayam, sate kelinci juga disajikan bersama bumbu kacang atau bumbu kecap yang ditambah potongan cabai rawit dan bawang merah.
Rasa sate kelinci mirip sate ayam, namun sedikit lebih manis rasa khas daging kelinci. Potongan-potongan daging sate dibuat kecil- kecil sehingga nyaman untuk disantap. Sate kelinci paling sedap dinikmati saat hangat, ditemani sebotol teh manis.

Parmin mendapat pasokan daging kelinci dari pasar di sekitar Tawangmangu. Jika sedang panen pembeli, ia bisa menghabiskan 50 kilogram daging per harinya. Satu kilogram daging yang dibelinya seharga Rp 25.000 bisa menjadi 120-140 tusuk sate.

"Kalau ramai, bisa sampai sembilan orang yang membantu saya. Kalau hutan ini lagi sepi pengunjung, kadang-kadang satu kilogram juga tidak habis," kisahnya tentang suka dan duka berjualan sate kelinci di Hutan Wisata Grojogan Sewu.

Musim ramai berlangsung saat libur Lebaran atau liburan sekolah. Pada saat itu, bisa berpuluh-puluh orang mampir di warung satenya. Saat musim hujan, pembelinya menurun karena calon pengunjung hutan wisata tidak terlalu berani mendatangi areal air terjun, akibat beberapa tahun yang lalu pernah terjadi longsor. 

SEJUTA RASA INDONESIA DI RESTORAN ADEM AYEM SOLO


Menyantap ayam goreng, rasanya sudah menjadi hal biasa. Tetapi, akan terasa berbeda kalau Anda mencoba ayam goreng di Restoran Adem Ayem (AA). Ayam goreng di restoran yang terletak di Jalan Slamet Riyadi itu rasanya gurih dengan tekstur daging lembut, renyah, dan tidak alot. Hidangan tepat saat berkumpul bersama keluarga atau relasi bisnis tanpa harus takut terlihat sibuk dengan alotnya daging.

Warna ayam gorengnya kuning kecoklatan dengan bumbu yang menyerap hingga ke seluruh daging. Kalau mau, Anda juga bisa menggigit-gigit ujung tulang yang rasanya renyah dan gurih.

Rahasia kerenyahan ayam goreng AA adalah daging ayam direbus terlebih dulu bersama bumbu-bumbu sebelum digoreng. Rontokan kulit ayam sisa menggoreng yang rasanya gurih-gurih asin juga disertakan dalam hidangan dalam bentuk seperti serundeng (kremesan).

Ayam goreng nikmat disantap saat hangat bersama nasi putih dan lalapan serta sambelnya. Meski disediakan sendok dan garpu, tapi akan lebih nikmat jika menyantap ayam goreng itu dengan tangan, seperti saat menyantap masakan Padang.

Untuk melengkapi kenikmatan hidangan, jus Adem Ayem bisa menjadi pilihan yang pas. Jus itu dibuat dari berbagai buah yang dicampur menjadi satu, yaitu semangka, nangka, nanas, dan melon. Dengan rasa manis yang pas, jus berwarna merah jambu memikat itu menggoda selera.

Selain ayam goreng, gudeg juga menjadi salah satu menu andalan restoran AA. Berbeda dengan gudeg jogja, gudeg di Adem Ayem tidak terlalu manis dan warnanya tidak sepekat gudeg yang biasa ditemui di Yogyakarta. Rasa sambel gorengnya lebih pedas dibanding gudeg jogja. Tak seperti gudeg jogja yang kering, gudeg AA agak basah. Demikian pula arehnya yang seperti saus dan berwarna putih.

Gudeg AA yang ditaruh di kendil dapat tahan 24 jam. "Banyak turis dari Hongkong, Singapura, dan Malaysia membawa gudeg ini ke negara asal," kata Lies Rosmiyati Herlambang (57), pemilik rumah makan AA.

Gudeg AA mempunyai rasa khas yang diperoleh dari cara memasaknya yang menggunakan kayu bakar. "Khusus gudeg, dari dulu saya selalu masak dengan kayu bakar. Bau sangit yang muncul dari kayu yang dibakar memberi aroma khas pada gudeg," ungkap Lies.

Sebagai lauknya, disediakan daging ayam dan telur. Menurut Lies, gudegnya disukai banyak orang, terutama mereka yang tidak terlalu suka manis. Tokoh nasional KH Abdurrahman Wahid adalah pelanggan setia restoran AA. "Kalau ke Solo, beliau menyempatkan mampir makan langsung di sini. Beliau paling suka dengan ayam goreng, empuk katanya," ungkap Lies menirukan perkataan Gus Dur.

Selain gudeg dan ayam goreng, restoran AA juga menyediakan menu lain, seperti soto, bakso, bakmoy, gado-gado, galantin, racikan selat (salad), udang goreng asam manis, dan puluhan menu lainnya. Karena banyak dari konsumennya yang menanyakan menu masakan China, Lies kemudian menyajikan pula menu seperti lomi, bihun, fu yung hai, cap cay, ca kay lan, dan lain-lain.

Pengunjung juga bisa puas memilih menu minuman. Ada 80 menu masakan dan 50 jenis minuman. Harga relatif terjangkau, mulai Rp 3.000-Rp 10.000 untuk minuman, dan Rp 5.000-Rp 35.000 untuk tiap menu masakan. Gudeg dalam kendil harganya Rp 50.000 sampai Rp 90.000.

Interior restoran yang tidak terlalu istimewa diimbangi foto- foto "tempo doeloe" beberapa lokasi di Solo serta kebersihan dan kerapian. Restoran AA berdiri sejak 1969. Saat ini, telah ada dua cabang lain, di Yogyakarta dan Denpasar dengan menu serupa dengan andalan ayam goreng dan gudeg.

Semula, AA hanya menggunakan meja kecil tempat Lies menggelar masakannya berupa gudeg dan ayam goreng dengan dua pembantu. Kini, ia telah mempekerjakan 150 tenaga kerja. Kuncinya, mempertahankan rasa yang telah disukai konsumen dan menjaga pelayanan dan kepercayaan pelanggan. 

SENSASI RASA ES DAWET TELASIH PASAR GEDE

Seorang perempuan muda, mengenakan kaus tank-top ungu, mendekati meja yang di atasnya terdapat bebe- rapa panci dan baskom. Ia memesan empat bungkus es dawet kepada sang penjual. "Tak usah pakai es, Bu. Mau saya masukkan ke kulkas. Mau saya bawa ke Yogyakarta," katanya, beberapa saat lalu.

Seorang teman juga bercerita pernah membawa 10 bungkus dawet ini sebagai oleh-oleh bagi teman-teman yang ditemuinya di Bentara Budaya Jakarta.
Begitu terkenalnya es dawet ini sehingga tak heran orang membawa sebagai oleh-oleh hingga ke luar kota. Orang menyebut es dawet telasih, karena tidak hanya berisi dawet (cendol), tetapi juga diberi telasih atau selasih yang rasanya kenyes-kenyes dingin saat digigit.

Penjual es dawet telasih berada di salah satu sudut Pasar Gede, Solo. Sejarah es dawet telasih dimulai puluhan tahun lalu hingga kini mencapai generasi keempat, yang pengelolaannya kini dipegang Tulus Subekti atau Utik, yang mewarisi usaha ini ibunya, Dermi.

"Yang memulai mbahnya ibu saya. Sekarang yang berjualan saya dibantu dua orang, karena ibu tidak kuat. Beliau hanya membuat di rumah dibantu tiga orang dan kakak saya," jelas Utik, sambil melayani pembeli yang datang silih berganti.

Es dawet telasih tidak hanya berisi dawet, tetapi juga dilengkapi jenang atau bubur sumsum, ketan hitam, tape ketan, dan irisan nangka. Sajian bahan tadi diguyur air gula putih dan santan. Rasanya khas karena diberi selasih dan manis hingga ke sendokan terakhir. Agar lebih segar, sajian es dawet telasih diberi es batu.

Cendol pada es dawet telasih dibuat dari tepung beras yang diberi pewarna alami dari daun suji, sehingga berwarna hijau muda. Bentuknya sengaja tidak sebesar yang lainnya sehingga mampu menyerap manis air gula. Jenang sumsum yang gurih dan ketan hitam yang manis semakin melengkapi variasi rasa dawet telasih.

Es dawet telasih sejak awal dijual di salah satu sudut Pasar Gede, dan tidak pernah pindah. Pengunjung bisa menikmati dawet itu di situ sambil duduk di bangku panjang yang disediakan. Pembeli juga bisa memesan variasi kesukaannya, seperti tak pakai tape atau santan, agar lebih awet jika dibawa perjalanan jauh. Utik bercerita, pembelinya sering membawa es dawet telasih ke luar kota.

"Kami juga sering diminta pesanan dari luar kota untuk berbagai acara, seperti hajatan, pernikahan, dan lainnya. Kalau tempatnya jauh, kami membuat dawet di sana. Kalau dekat, kami membawanya dari Solo," tuturnya.

Untuk mempertahankan cita rasa es dawet telasih, Utik menggunakan bahan tradisional tanpa pengawet. Hasilnya, kini dalam sehari dia mampu menjual hingga 400 mangkok dawet dengan harga per porsi Rp 2.500. Saat Lebaran, sehari ia bisa menjual 1.000 mangkok.

TIMLO SASTRO, MEMPERTAHANKAN TRADISI RASA


Mendengar kata timlo, orang akan segera teringat Kota Solo. Timlo yang merupakan jenis masakan ini melekat dengan nama Solo, selain juga nama grup pelawak yang juga berasal dari Solo, yakni Teamlo.

Belum jelas benar, bagaimana asal-usul timlo, yang jelas masakan yang penampilannya seperti gabungan antara sop dan soto ini banyak digemari penikmat masakan. Kuahnya yang seperti sop atau bakso terasa segar ditambah dengan irisan rempela ati, risoles sosis, dan telur. Kalau suka boleh juga ditambah dengan tahu goreng.

Timlo cocok disantap di semua suasana, baik pagi, siang, maupun malam hari. Selain membuat perut kenyang, lidah juga akan dimanjakan dengan rasa gurih dari berbagai isi timlo, seperti sosis dan rempela yang kenyal.

Salah satu rumah makan yang sejak dulu terkenal dengan menu timlonya adalah Timlo Sastro. Pasangan Sastro Hartono dan Suharmi merintis usaha ini sejak tahun 1952. Awalnya mereka berjualan di belakang Pasar Gede dengan sistem pedagang kaki lima (PKL) sampai akhirnya mampu membeli kios.

Usaha mereka pun laris karena mereka konsisten hanya menjual timlo dengan rasa yang dipertahankan. Sampai sekarang, penerus usaha ini, yaitu anak-anak Sastro dan Suharmi, mempertahankan warisan resep dan rasa timlo yang kini menjadi bagian dari legenda masakan-masakan khas di Kota Solo.

"Sebenarnya warung makan lain juga ada yang menjual timlo, tetapi bercampur dengan menu lain. Orangtua kami hanya menyajikan timlo," kata Hardjono, anak ketiga yang kini menjadi penanggung jawab jalannya usaha ini.

Nama Timlo Sastro kini menjadi semacam jaminan tersendiri bagi mereka yang ingin menikmati timlo khas Solo. Kini, warung ini dikelola keempat anak Sastro Hartono dan Suharmi sejak keduanya meninggal dunia pada sekitar pertengahan tahun 1980-an.
Selain Hardjono (47), usaha ini juga dikelola oleh Sri Mulyani (53), Setyo Tri Wahyuni (49), dan Anik Sri Haryani (42). Sejak lima tahun lalu, usaha keluarga ini juga membuka cabangnya di Jalan Dr Soepomo, Solo. "Rasanya ditanggung sama dengan yang di Pasar Gede karena masaknya jadi satu di rumah lalu di bawa ke masing-masing warung," tambah Hardjono.

Satu porsi timlo komplet berharga Rp 9.000. Agar suasana makan semakin enak, si empu warung juga menyediakan berbagai pernak-pernik pelengkap lainnya yang cocok untuk dicemplungkan ke dalam kuah timlo, seperti brutu dan usus.

Resep timlo sebenarnya sederhana, hanya menggunakan bawang putih, lada, pala, dan bawang merah yang digoreng sebagai taburan di atas nasi yang dihidangkan. "Tidak ada rahasia pada resep kami, kontrol rasa juga tidak ada yang khusus. Semua dilakukan tradisional karena sudah biasa memasaknya," ungkapnya. 

KENIKMATAN BEBEK GORENG SAMBEL KOREK PAK SLAMET...


Jika datang ke Kota Solo, Anda bisa mencoba mampir ke Warung "Bebek Goreng Sambel Korek" Pak Slamet. Bebek gorengnya berwarna kuning kecoklatan, dagingnya empuk, tidak amis, dan menyerap bumbu, serta ketika digigit kulitnya terasa renyah. Ditemani sepiring nasi hangat dan sambal bawang yang dikorek-korek dari cobek sehingga disebut "sambel korek", membuat suasana makan terasa nikmat. Bebek goreng itu harus disantap saat hangat agar rasa renyahnya tak hilang terkena angin (amem).

Seperti namanya, warung ini didirikan Slamet Raharjo (57) pada tahun 1986. Ia merintis warung itu bersama istrinya, Baryatin. Warung ini awalnya hanya berupa kios kaki lima di Jalan Ahmad Yani, Kartasura, dan masih menjual menu lainnya, seperti rujak, lotis, gado-gado, tahu kupat, kikil sapi, sate kelinci, dan gulai sapi. Beberapa menu ia jual sejak 1979, tahun ia mulai berwiraswasta.

Pada tahun 1990-an, Slamet memutuskan hanya menjual bebek goreng. "Awalnya, hanya mampu menjual bebek goreng 2-3 ekor," kata Slamet, Jumat (19/1).

Wali Kota Solo saat itu, Hartomo, suatu saat mampir ke warungnya mencicipi bebek gorengnya. Ia kemudian memberi kesempatan Slamet berjualan bebek goreng di Pujasera di kompleks Museum Radya Pustaka, Solo. Sejak itu, rasa bebek gorengnya yang khas tersebar dari mulut ke mulut.

Slamet tak lama berjualan di sana, warungnya di Jalan Ahmad Yani pun harus pindah ke dalam kampung karena pelebaran jalan. Meski demikian, bebek gorengnya tetap dicari orang. Warungnya kini terletak 100 meter arah selatan dari Jalan Ahmad Yani, di sebelah timur Pasar Kartasura, buka pada pukul 07.00-14.00.

Pernah ada orang yang menawari Rp 150 juta untuk membeli formula bumbu bebek gorengnya, Slamet bergeming. Ia juga enggan menjual nama warungnya yang menjadi semacam jaminan rasa. Meski tak membuka waralaba, ia punya tiga cabang warung yang dikelola anak-anaknya. 

JAJAN PASAR BU SUM PASAR GEDE


Gathot, sawut, gronthol, pule cethot, dan jongkong. Nama-nama ini barangkali bagi sebagian kita terdengar asing. Tidak heran, karena nama-nama ini yang sebenarnya adalah jenis makanan sudah jarang sekali ditemui. Kedudukan mereka pun sudah tergantikan oleh makanan "modern", seperti donat, pizza, atau hamburger.

Dahulu, kudapan ini bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional sehingga kerap dijuluki jajan pasar, jajanan yang dibeli dari pasar. Kini, makanan-makanan itu tidak mudah lagi ditemukan. Hanya di pasar tradisional tertentu masih dijajakan, seperti di Pasar Gede. Bila Anda sempat mengunjungi pasar berarsitektur indah ini, sempatkanlah mampir hingga ke bagian tengah pasar. Di jajaran oprokan yang terletak di gang kedua ini terdapat lapak jajan pasar Bu Sum yang menjual jajan pasar paling lengkap dibanding lapak sejenis di pasar lainnya.

Selain lima jenis makanan tadi, Bu Sum juga menawarkan getuk singkong, ketan item, ketan putih, pule gendhar, klepon, jadah blondo, cenil, dan tiwul. Tiwul bahkan dibedakan menjadi dua, yang dicampur gula pasir atau gula jawa.

Rasa jajan pasar ini sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Namun, saat gigi menggigit dan lidah merasai tekstur atau mencecap rasa berbagai jajan pasar ini, seperti ada rasa kangen yang terobati atau kepuasan bisa mencicipi makanan yang barangkali dalam beberapa tahun ke depan tinggal cerita.

Harganya pun murah meriah, hanya Rp 1.500-Rp 2.000 per bungkus. Isinya bisa satu jenis, beberapa, bahkan seluruh jenis jajanan sesuai pesanan pembeli yang lalu dibungkus daun pisang. Bu Sum juga melayani pesanan secara rutin dari bank atau hotel berbintang.
Bu Sum yang punya nama lengkap Suminem (43) akan melengkapi cita rasa jajan pasar ini dengan taburan parutan kelapa, juruh (cairan gula jawa), bubuk kedelai, atau gula halus, tergantung jenis jajanan.

Lapak Bu Sum buka pukul 06.30 dan baru tutup sekitar pukul 13.30 atau ketika dagangannya habis. Semua jenis jajan pasar ini dibuatnya sendiri mulai pukul 03.30. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 20 kilogram singkong, 7 kg ketan item, dan 3,5 kg ketan putih.
Suminem mulai berjualan jajan pasar di Pasar Gede sejak usia 15 tahun. 

"Di sini iyup dan pembelinya orang-orang gede. Harapannya belanjanya banyak," ujar Suminem tentang alasannya memilih Pasar Gede sebagai tempat jualannya.

Awalnya, ia menjual lima jenis jajanan, lalu secara bertahap ia menambah varian makanan hingga kini lebih dari 10 jenis. 

MENCICIPI SOTO KEGEMARAN PAK HARTO DI STADION MANAHAN

Bila Anda melintas di kawasan Stadion Olahraga Manahan, Kota Solo, jangan lupa mampir ke warung soto Pak Di. Soto daging sapi dan daging ayam buatan Walito Diharjo (57), nama lengkap Pak Di ini, meskipun dijual di kaki lima, bercita rasa istana.

Pasalnya, sotonya sangat digemari dan pasti disantap mantan Presiden Soeharto dan keluarganya saat berkunjung ke Kota Solo. Pak Di akan diundang melayani keluarga Cendana di Dalem Kalitan, kediaman keluarga Soeharto di Solo. Tidak ketinggalan, angkringan dan kuali sotonya turut ia bawa masuk ke Dalem Kalitan.

Soto Pak Di terdiri dari suwiran daging sapi atau ayam yang ditaburi tauge, potongan daun seledri, dan bawang goreng yang kemudian disiram kuah soto yang berbumbu racikan laos, sereh, jahe, daun salam, lada, kemiri, garam, dan daun jeruk purut. Agar sedap, kuah yang berasal dari air rebusan daging ini diberi tempe bosok, yakni tempe yang hampir busuk.
Untuk melengkapi kenikmatan menyantap soto, Pak Di menyediakan kerupuk karak, gorengan tahu dan tempe, sate telur, sate paru, sate kerang, kerupuk, dan peyek untuk menemani acara santap soto.

Harga satu porsi soto daging sapi dan ayam hanya Rp 3.000. "Warung soto saya libur setiap hari Senin. Tanggal merah atau hari libur besar, saya justru buka, termasuk Lebaran. Ini untuk melayani mereka yang berlibur ke Solo," ujar Pak Di yang memulai berjualan soto keliling pada 1981.



Kios sotonya yang terletak di sebelah barat GOR Manahan atau tepatnya di sebelah timur pintu masuk Asrama Polisi Manahan buka pukul 06.00-14.00. Sebagian besar pelanggan lebih menggemari soto sapi buatannya, termasuk Pak Harto yang selalu meminta makan soto dengan mangkok milik Pak Di. 

"Kalau pakai mangkok milik Dalem Kalitan, malah tidak mau. Mungkin terlalu bersih ya," katanya setengah berkelakar.

Pak Di mulai menjadi langganan keluarga Cendana pada tahun 1991. Saat itu ada tujuh penjual soto yang diundang ke Dalem Kalitan. Pak Di mendapat giliran terakhir, tetapi justru ia yang terpilih untuk melayani keluarga Soeharto saat berkunjung ke Dalem Kalitan. Setelah Tien Soeharto meninggal 1996, 

Pak Di justru diminta menyuguhi tamu- tamu yang datang ke Dalem Kalitan dengan soto buatannya. Bila tidak ada tamu, ia berjualan soto di bawah pohon beringin yang ada di depan Dalem Kalitan sehingga sempat dikenal sebagai soto Kalitan. Pak Di pindah berjualan ke Manahan setelah Soeharto lengser. 

CABUK RAMBAK YU TEMU YANG "NGANGENI"



Selain nasi liwet dan tengkleng yang menjadi ikon masakan khas Solo, masih ada satu lagi masakan asli Solo yang selama ini terkesan "tenggelam" oleh kesohoran masakan khas Solo lainnya, yakni cabuk rambak. Terkesan sederhana, tetapi cabuk rambak menyimpan keunikan tersendiri.

Dahulu, cabuk rambak lebih banyak dijajakan dengan berkeliling oleh ibu-ibu. Kini banyak penjual cabuk rambak lebih suka mangkal di tempat tertentu yang strategis. Salah satu yang terkenal adalah cabuk rambak Yu Temu yang berlokasi di Jalan Menteri Supeno, persisnya di sebelah utara kompleks Stadion Manahan atau di depan kompleks Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Solo.

Cabuk rambak tersusun atas irisan ketupat yang di atasnya disiram bumbu, seperti bumbu pecel. Bedanya kalau bumbu pecel berbahan utama kacang tanah goreng yang ditumbuk halus, bumbu cabuk rambak berbahan utama parutan kelapa dan wijen yang digoreng sangrai.

Sajian cabuk rambak akan dilengkapi dengan kerupuk karak. Kerupuk yang rasanya khas ini dibuat dari tumbukan nasi yang diberi bumbu khusus yang disebut bleng, diiris tipis-tipis lalu dijemur. Setelah irisan nasi tadi benar-benar kering lalu digoreng hingga berwarna kecoklatan.

Rasa cabuk rambak Yu Temu khas karena pembuatan dan bumbunya. Untuk membuat bumbu, ia menggoreng sangrai potongan daging kelapa baru kemudian diparut. Begitu pula dengan wijen yang juga digoreng sangrai. Parutan kelapa dan wijen sangrai ini kemudian dicampur dengan beberapa macam bumbu dapur lalu ditumbuk atau digiling, sesuai tekstur yang diinginkan. Bila digiling, tekstur bumbu yang diperoleh lebih halus. Campuran parutan kelapa dan wijen sangrai menimbulkan rasa legit dan aroma harum.

Untuk bumbu dapurnya, Yu Temu menggunakan bawang putih, garam, gula pasir, gula merah, cabai, dan kemiri goreng. Agar lebih segar, ia menambahkan daun purut ke dalam campuran bumbu. Resep ini ia peroleh turun-temurun dari nenek dan ibunya yang juga berjualan cabuk rambak.

Satu porsi cabuk rambak yang disajikan dengan pincuk daun pisang dihargai Rp 2.000 dan enak dinikmati untuk sarapan. Lapak cabuk rambak Yu Temu yang juga menjual nasi liwet buka setiap hari mulai pukul 06.00-11.00.

Hari libur besar pun ia tetap buka, termasuk saat Lebaran karena pada saat itulah pembeli sedang ramai-ramainya. Pelanggannya, terutama yang berasal dari luar kota sering protes bila saat tiba di Kota Solo, mereka tidak bisa menjumpai cabuk rambak Yu Temu yang menjadi klangenan mereka. Meski terkesan ndeso, makanan tradisional ini benar-benar ngageni termasuk oleh mereka yang tinggal di luar negeri. Yu Temu kerap mendapat pesanan bumbu yang kemudian dibawa ke Amerika, Australia, dan Singapura oleh orang Indonesia yang tinggal di sana. 

PECEL "NDESO" YANG PENUH GIZI...

Kata ndeso biasanya berkonotasi kurang menguntungkan karena bisa berarti kurang maju, kurang tahu, atau kurang yang lainnya. Perkecualian untuk pecel ndeso. Meski namanya diembel-embeli ndeso, kandungan gizi yang ada pada pecel ndeso sama sekali tidak ndeso. Tidak seperti pecel umumnya yang menggunakan nasi putih, pecel ndeso menggunakan nasi dari beras merah yang lebih kaya vitamin dan mineral ketimbang beras putih.
Beras merah juga mengandung vitamin B1 (tiamin) yang mencegah beri-beri dan zat besi yang lebih tinggi. Meski kandungan karbohidratnya lebih rendah dari beras putih, beras merah menghasilkan energi lebih besar.

Kandungan sarat gizi lainnya berasal dari sayur-sayuran khas pecel ndeso. Pecel ndeso menghidangkan rebusan daun pepaya, daun singkong, kenikir, bayam, jantung pisang, dan tauge.

Rasa daun pepayanya tidak pahit karena saat direbus dicampur dengan sedikit tanah liat yang lantas dibilas setelah matang. Bila bumbu pecel biasa menggunakan kacang tanah, bahan dasar bumbu pecel ndeso adalah wijen hitam sangrai yang ditumbuk. Sajian pecel ndeso masih dilengkapi dengan urap mlanding, kemangi, ketimun, dan tauge segar.
Tidak berhenti sampai di sini, karena di atas sayur-sayuran rebus dan urap masih ditambah lagi dengan bongko dan gembrot sembukan.

Bongko dibuat dari kacang merah dan parutan kelapa yang diberi bumbu seperti bumbu pelas lantas dikukus. Gembrot sembukan dibuat dari kukusan daun sembukan dan parutan kelapa yang sebelumnya diberi bumbu bawang putih dan gula.
Untuk melengkapi kenikmatan menyantap pecel ndeso, disediakan kerupuk karak.
Rasa pecel ndeso ini? Meminjam ungkapan pakar kuliner, Bondan Winarno, mak nyuuss. Untuk menikmati sajian lezat ini, Anda bisa pergi ke lesehan pecel ndeso Bu Ndari di sebelah utara Kompleks Stadion Manahan, Solo, tepatnya di seberang Kampus JPOK FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Manahan.

Hanya diperlukan Rp 3.500 untuk menikmati santapan penuh gizi ini. Lapaknya buka setiap hari pukul 06.00-10.00 termasuk hari raya dan libur besar. Pecel ndeso yang khas ini berasal dari Desa Gagaksipat di Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Hampir seluruh penjual pecel ndeso yang tersebar di Kota Solo berasal dari daerah itu. Bumbu pecel ndeso Bu Ndari terkenal kelezatannya. Rasanya legit dan gurih. Tidak heran, jika serombongan ibu-ibu dari Jakarta pernah datang khusus untuk belajar membuat bumbu pecel ndeso seperti yang dibuat Bu Ndari.

"Mereka sampai menghitung takaran yang saya pakai untuk distandarkan. Tapi hasilnya tidak bisa persis. Barangkali faktor sentuhan tangan ya," katanya sambil tersenyum. 

AYAM GORENG MBAH KARTO "NYANGKUT" DI HATI


Sajian ayam goreng sangat mudah kita temui di berbagai tempat makan. Akan tetapi, yang punya cita rasa khas dan nyangkut di hati, barangkali tidak banyak. Salah satunya, ayam goreng Mbah Karto yang beralamat di Jalan Jaksa Agung R Suprapto, Sukoharjo, atau tepatnya di depan Kantor PT PLN Cabang Sukoharjo.

Menggunakan bahan dasar ayam kampung, ayam goreng Mbah Karto rasanya empuk, gurih, dan legit dengan tampilan yang menggugah selera. Berwarna kuning kecoklatan dan menebar aroma yang membuat kita tidak sabar untuk cepat-cepat mencicipi potong demi potong ayam goreng tersebut.

Rahasia daging ayam yang empuk adalah pada proses pemasakannya. Sebelum digoreng, ayam kampung direbus selama dua jam dengan menggunakan santan berbumbu, baru kemudian digoreng. Hasilnya, kulitnya renyah dan gurih.

Ayam goreng Mbah Karto akan lebih enak disantap menggunakan sambal. Ada dua macam sambal di sini, yaitu sambal blondo dan sambal bawang. Sambal blondo dibuat dari remah-remah kulit sisa menggoreng ayam. Remah-remah kulit itu dicampur bumbu berupa cabe dan gula, lalu diulek. Sedangkan sambal bawang versi Mbah Karto tidak berbeda bahannya dari sambal bawang yang kita kenal, yakni cabe, bawang putih, dan garam.

Melihat sajian ayam goreng yang masih mengeluarkan kebulnya, nasi putih hangat, ditambah sambal bawang atau dan sambal blondo mampu menerbitkan air liur kita. Untuk melengkapi suasana makan, ditawarkan berbagai aneka minuman, seperti air jeruk, teh, beras kencur, gula asam, dan tape ketan, baik hangat maupun dingin, sesuai selera pemesan.

Untuk menyantap ayam goreng Mbah Karto pun tidak membuat kita merogoh kocek terlalu dalam. Satu potong dada ayam goreng dihargai Rp 7.500, paha goreng Rp 7.000, kepala goreng Rp 1.500, dan rempelo ati goreng Rp 1.400.

Usaha tersebut dirintis Ny Karto yang akrab dipanggil Mbah Karto (90). Awalnya, Mbah Karto berjualan ayam goreng di Pasar Sukoharjo. Selain itu, ia juga berkeliling menjajakan dagangannya. Pada tahun 1996, seiring dengan semakin laris dagangan ayam gorengnya, Mbah Karto membuka rumah makan di depan kantor PT PLN dan bertahan hingga saat ini.
Kini usaha ayam goreng Mbah Karto diteruskan anak pertama dan menantunya, Pouslan Sunur (54) dan Sri Sukarni (45). "Pada hari biasa kami bisa mengolah 180 ekor ayam dan pada hari libur bisa sampai 250 ekor," ujar Sukarni.

TRANCAM DAN AYAM BU MAYAR

Menyantap sepiring nasi hangat plus trancam dan ayam goreng tepung selepas menempuh perjalanan yang cukup jauh sangatlah nikmat. Jika kebetulan Anda dalam perjalanan melintasi Kecamatan Cawas di Kabupaten Klaten, singgahlah di kios Trancam Ayam Goreng "Bu Mayar" di Pasar Cawas, Jalan Raya Masaran.

Trancam "Bu Mayar", yang dikelola pasangan suami istri Satini (60) dan Mayar Yarno Dihardjo (60), berupa potongan sayuran segar, seperti kacang panjang, kenikir, kemangi, mentimun, kol, wortel, dan tauge. Makanan yang komposisinya mirip urap itu kian mantap bersama sambal yang berbahan utama parutan kelapa berbumbu cabai ulek, bawang putih, dan kencur.

Sambal itu sekaligus menjadi sambal bagi ayam goreng berlulur tepung yang digoreng hingga kekuningan. Ayam gorengnya sangat renyah berbumbu garam, bawang putih, dan sedikit kunyit.

Hati-hati, menyantap paduan trancam dan ayam goreng tersebut. Bukan apa-apa, sajian itu benar-benar mengancam penikmatnya untuk nambah lagi dan lagi. Selain menu trancam dan ayam goreng yang menjadi andalan Warung Bu Mayar, Anda dapat pula memilih menu lainnya, seperti ayam bakar, lele goreng, pecel lele, opor ayam, rames telur, rames kikil, gudeg ayam bakar, dan bebek goreng.

Sebagai pelengkap, ada aneka minuman seperti kopi, teh, air jeruk, dan susu yang tersaji hangat dan dingin. Tidak ketinggalan soda gembira dan berbagai minuman ringan.
Sambil bersantap, pandang interior warung. Anda bakal melihat beberapa foto para tokoh yang pernah singgah mencicipi hasil racikan tangan Bu Mayar. Sebut saja Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Menteri Kehutanan MS Kaban.

Adalah Satini bersama sang suami, Mayar Yarno Dihardjo, pendiri warung makan itu pada tahun 1979. Warung tersebut buka setiap hari mulai pukul 06.00-17.00. Mereka hanya libur pada hari pertama hari raya Idul Fitri.

Untuk melayani pelanggan yang kian banyak, Satini alias Bu Mayar membuka cabang "Warung Bu Mayar" sejak tiga bulan lalu di Jalan By Pass, Mojayan, Klaten. Satini sendiri yang menangani langsung operasional di warung yang menyediakan lahan parkir seluas 800 meter persegi itu.

Untuk mempertahankan pelanggan, Bu Mayar selalu mengutamakan pelayanan, antara lain dengan mempertahankan rasa yang sudah dikenal serta sajian masakan yang selalu hangat.
"Tamu baru tiba dan memarkir kendaraannya, kami sudah menghidupkan kompor agar masakan cepat tersaji," kata Satini membuka sedikit rahasia suksesnya.

NIKMATNYA MAKANAN VEGETARIAN

Penampilannya tidak beda dengan sate ayam biasanya. rasanya pun gurih dan kenyal seperti daging. Namun ternyata, sate ayam ini bukan sate ayam yang sesungguhnya, melainkan sate yang "daging"-nya dibuat dari gluten atau protein lengket dan elastis yang terkandung di dalam beberapa jenis serealia, seperti gandum, jewawut, dan oat.

Selain sate "ayam", ada pula "ayam" bakar dan daging "sapi" bertabur wijen yang menjadi menu hari itu di Rumah Makan Vegetarian Maitreya Jaya. Rumah makan ini khusus menyajikan menu bagi vegetarian yang sama tidak mengonsumsi produk hewani.

Menu berganti-ganti setiap hari. Siang itu, selain ada menu menggiurkan sate dan ayam bakar, ada pula ca baby buncis bertabur "daging" kremes krispi, baby kailan dengan jagung manis, semur kentang yang ditambah irisan "daging" sapi, dan "daging ham" masak merah.

"Kami juga punya menu spesial, seperti bistik vegetarian, bebek peking, cap cay, sapo tahu, dan fuyung hai. Menu ini baru masak setelah dipesan agar segar. Semuanya tentu saja vegetarian," kata Meiqin, pengurus Rumah Makan Vegetarian Maitreya Jaya.

Selain tidak menggunakan bahan produk hewani, masakan di Maitreya Jaya juga tidak menggunakan penyedap rasa monosodium glutamate dan bawang. Sebagai gantinya digunakan penyedap rasa dari jamur.
Rumah makan ini berada di lantai bawah bangunan Vihara Maitreya Muni di Jalan AR Hakim 73, Kepunton, Kota Solo. Penganut ajaran Mahatao Maitreya mempercayai bahwa vegetarian adalah cikal bakal Ketuhanan. Ajaran ini bernaung di bawah Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia.

"Vegetarian adalah ajaran untuk cinta kasih," kata Meiqin yang juga vegetarian.
Menurut Meiqin, rumah makan yang ada sejak 10 tahun lalu ini awalnya untuk menyediakan kebutuhan vegetarian yang kerap kesulitan mencari makanan yang sesuai dengan pilihan hidup mereka. Namun, pelanggan Maitreya Jaya kini tidak hanya mereka yang menjadi vegetarian berdasar ajaran keyakinan, melainkan juga yang beralasan kesehatan.

Rumah Makan Maitreya Jaya buka setiap hari pukul 07.00-14.00. Selain makan di tempat, banyak pelanggan yang membawa pulang makanan yang dibeli untuk disantap di rumah. Harga masakan di Maitreya Jaya terjangkau. Harga nasi campur Rp 5.000-Rp 10.000 per porsi, ayam bakar Rp 3.500 per potong, dan sate daging Rp 1.500 per tusuk, serta menu spesial di atas Rp 10.000 per porsi.
"Tujuan kami bukan murni bisnis, tetapi untuk membantu vegetarian dan menambah penghasilan untuk operasional vihara," ujar Meiqin. 

BAKMI "WARUNG SOLET" YANG MENGGUGAH SELERA...

Kuah panas yang mengeluarkan aroma sedap menggoda lidah untuk segera mencicipi. Rasa gurih dan segar langsung terasa saat kuah berbumbu dari bakmi godok telur pindah dari sendok ke mulut. Hmm, sedapnya masakan di Warung Bakmi "Solet" ini.

Setelah mencicipi kuahnya yang segar dan gurih, giliran bakmi kuning dan beberapa jenis sayuran yang memasuki rongga mulut. Matangnya pas, tidak terlalu lembek atau keras. Selain kubis (kol), wortel, sawi hijau, dan telur, ada pula daun bawang dan seledri serta potongan tepung terigu goreng yang melengkapi sajian bakmi godok ini.

Semuanya dimasak sesaat setelah dipesan sehingga kesegaran bahan-bahannya memengaruhi cita rasa masakan.
Selain sajian bakmi godok telur, juga ditawarkan bakmi goreng telur, capcai, paklay, nasi goreng, nasi sup, dan tahu acar. Untuk capcai, isinya sama dengan bakmi godok atau goreng, hanya saja tidak terdapat bakmi. Sedangkan untuk paklay, isinya sama dengan capcai, namun tidak diberi tepung terigu goreng. Satu porsi dihargai Rp 7.000-Rp 8.500. Untuk tahu acar Rp 3.500 per porsi.

Warung yang buka setiap hari mulai pukul 10.00-18.30 ini diberi nama "Solet" sesuai julukan yang diberikan kepada pendirinya, almarhum Wiryo Darsono. Wiryo kecil bertubuh kurus kering sehingga dijuluki solet atau semacam alat untuk menggoreng.

Wiryo bersama istrinya, Semi (alm), merintis warung ini tahun 1965 dan bertahan hingga kini, diteruskan oleh anaknya, Wiwik Widayati (49). Wiwik dibantu sang suami, Ranto, serta tiga orang lainnya.
Wiwik sendiri yang memasak pesanan dari pembeli yang memesan makanan. Tangannya sangat terampil sehingga pembeli tidak perlu menanti lama untuk menyaksikan sepiring pesanannya tiba di atas meja di hadapannya.

Di meja juga tersedia cabai rawit, acar, dan sambal kecap serta berbagai gorengan.
Warung yang terletak di Jalan Benowo V, Kampung Sanggrahan, Makamhaji, Kabupaten Sukoharjo, ini selalu ramai saat makan siang. Lokasi warung ini berjarak sekitar 700 meter dari Tugu Lilin ke arah utara menuju daerah Gentan, Sukoharjo. Dari Tugu Lilin ke arah utara, tinggal menyusuri Jalan Joko Tingkir dan di sebelah barat jalan, tepat di ujung gang, akan terlihat papan kecil 60x40 sentimeter bertuliskan "Warung Solet." Sekitar 50 meter dari ujung gang tersebut akan ditemukan "Warung Solet". Jangan lupa pesan bakmi dan supnya. 

BURGER TEMPE WARUNG BARU SOLO



Catatan: Tulisan ini dibuat tahun 2005, jadi entahlah apakah saat ini warung ini masih ada atau tidak. Beberapa bulan yang lalu sih masih ada. Nah, yang belum jelas, apakah masih tetap membuat roti tawar ketan hitam dan burger tempe. Warung ini berada di Jalan Ahmad Dahlan, Solo, kalau di Jakarta, ibaratnya Jalan Daksa, dipenuhi penginapan dan warung yang melayani backpackper para turis asing yang datang ke Solo untuk waktu yang cukup lama. Tapi meskipun sudah lama, tidak ada salahnya dicoba kan kalau memang berminat untuk mencicipi burger tempe dan roti tawar ketan hitamnya? 


Sandwich tempe di Warung Baru Solo


Siti Suntari Haryono (52) tidak pernah belajar khusus membuat masakan barat. Namun, kreasinya membuat masakan bercitarasa barat mengantarkannya mampu menghasilkan menu masakan yang inovatif, antara lain roti tawar ketan hitam serta pizza dan sandwich tempe.

Selama ini, orang terbiasa makan roti tawar berwarna putih karena terbuat tepung gandum. Kini oleh Suntari dibuatlah roti tawar ketan hitam yang dibuat dari campuran tepung gandum dan tepung ketan hitam.
Roti ketan hitam buatan Suntari rasanya benar-benar tawar dan keras di bagian kulit namun lembut di dalamnya. Suntari tidak menggunakan telur dan gula seperti proses pembuatan roti tawar umumnya. Ia hanya menambahkan ragi dan garam pada adonan rotinya.

Di warung makannya yang bernama Warung Baru, Suntari menawarkan roti tawar ini dimakan bersama mentega, selai, dan omelet. Ia juga menawarkan kari (curry) dari India dan gauccomole dari Meksiko, teman makan roti tawar ketan hitamnya.

"Gauccomole terdiri dari potongan buah alpukat, tomat, bawang bombai, paprika, dan lemon yang diberi garam. Bule-bule itu kalau makan sampai dikoreti wadahnya," kata Suntari di warungnya.

Roti tawar ketan hitam menu andalan di Warung Baru yang berlokasi di Jl Ahmad Dahlan 23, Keprabon, Solo. Irisan roti ini biasa dipesan untuk makan pagi, siang, atau malam. Terkadang, pembeli yang hampir seluruhnya orang asing memesan beberapa loaf roti untuk dibawa pulang.

Pembeli bernama Jani dari Finlandia sangat menyukai roti tawar ketan hitam buatan Suntari. "Ini benar-benar beda. Selama tiga bulan terakhir travelling saya ke Australia, Meksiko, dan Indonesia, ini roti terbaik yang saya temui. Rasanya tidak jauh beda dari roti yang dibuat ibu saya di rumah," katanya.

Menurut Jani, rasa roti tawar Suntari enak dan rasa tebalnya benar- benar mantap saat digigit. Ia selalu menyempatkan makan di Warung Baru. "Setiap pagi dan malam, saya selalu ke sini sejak saya menemukan warung ini. Harganya murah dengan variasi menu yang sangat banyak," lanjutnya.

Satu loaf roti tawar ketan hitam dijual Suntari dengan harga Rp 7.500. Beberapa iris roti bersama selai atau omelet hanya diberi harga rata-rata Rp 6.000. Awal mula penemuan roti tawar ketan hitam karena tamunya kebanyakan turis asing tidak suka saat disodori roti tawar buatan pabrik lunak dan manis.

Suntari kemudian mencoba membuat kreasi roti lain dari yang sudah ada dan cocok dengan keingingan tamunya. Ia mencampurkan 200 gram tepung ketan hitam ke dalam satu kilogram tepung gandum ditambah masing-masing satu sendok teh garam dan ragi.

Tak hanya menunya unik, warungnya pun unik dengan arsitektur campuran Jawa dan Bali. Dinding bagian atas warung ditutup dengan lembar anyaman bambu yang menimbulkan suasana nyaman dan seperti di rumah sendiri. Suntari selalu memperlakukan tamunya seperti keluarga sendiri. Tamu diperbolehkan duduk berjam-jam di warungnya meski pesanan hanya itu-itu saja.

Para tamu kerasan dengan model pelayanan Warung Baru. Pernah Suntari memindahkan warungnya ke tempat lain yang lebih bagus dan besar, namun diprotes para tamunya. Tamunya tidak suka jika Suntari berpenampilan "wah". Jadilah, sehari-hari Suntari hanya berpenampilan sederhana dan apa adanya mengenakan baju daster batik panjang. Para tamu menganggap penampilannya itu lebih natural, mencerminkan kehidupan asli serta keunikan orang setempat. Suntari mengaku, kemampuan bahasa Inggrisnya adalah "Inggris tarzan", hanya sekadar "nyambung" saat berkomunikasi. Namun, senyumnya yang selalu tersungging di wajahnya yang ramah membuat para tamu terkesan.

Hubungan Suntari dan tamu-tamunya tidak hanya sebatas penjual dan pembeli, namun lebih dari itu seperti saudara. Suntari membiarkan tamu menggunakan dapurnya jika mereka kangen memasak masakan asli negara mereka. Dengan demikian, Suntari dapat "mencuri" ilmu tentang rasa asli dan selera lidah para tamunya.
Sebagai gantinya, ia juga memasukkan unsur masakan lokal ke dalam masakan barat, seperti pizza tempe dan sandwich tempe. Ternyata, para tamu menyukainya. Sandwich dan pizza tempe tak ubahnya seperti sandwich dan pizza dari negeri asalnya.

Untuk sandwich, Suntari menggunakan tiga iris roti tawar ketan hitam. Di sela-sela irisan tadi ditaruh irisan tomat, bawang bombai, ketimun, dan tempe goreng. Di puncak ditaruh kerukan daging buah alpukat. Agar tamu-tamu mengenal kreasi masakannya, ia rajin menawarkan dan memberi harga khusus kepada para tamunya. Saat awal meluncurkan roti tawar ketan hitamnya, Suntari menyisipkan irisan roti tawarnya sebagai bonus sajian kepada tamu. Lama-kelamaan, tamu menanyakan sendiri roti tawar ketan hitamnya.

Dari hasil menjalankan Warung Baru, Suntari mampu membangun empat home stay. Rencananya dalam waktu dekat ia akan membuat warung khusus masakan Jawa dan Padang.