Saturday 25 October 2014

SENSASI RASA ES DAWET TELASIH PASAR GEDE

Seorang perempuan muda, mengenakan kaus tank-top ungu, mendekati meja yang di atasnya terdapat bebe- rapa panci dan baskom. Ia memesan empat bungkus es dawet kepada sang penjual. "Tak usah pakai es, Bu. Mau saya masukkan ke kulkas. Mau saya bawa ke Yogyakarta," katanya, beberapa saat lalu.

Seorang teman juga bercerita pernah membawa 10 bungkus dawet ini sebagai oleh-oleh bagi teman-teman yang ditemuinya di Bentara Budaya Jakarta.
Begitu terkenalnya es dawet ini sehingga tak heran orang membawa sebagai oleh-oleh hingga ke luar kota. Orang menyebut es dawet telasih, karena tidak hanya berisi dawet (cendol), tetapi juga diberi telasih atau selasih yang rasanya kenyes-kenyes dingin saat digigit.

Penjual es dawet telasih berada di salah satu sudut Pasar Gede, Solo. Sejarah es dawet telasih dimulai puluhan tahun lalu hingga kini mencapai generasi keempat, yang pengelolaannya kini dipegang Tulus Subekti atau Utik, yang mewarisi usaha ini ibunya, Dermi.

"Yang memulai mbahnya ibu saya. Sekarang yang berjualan saya dibantu dua orang, karena ibu tidak kuat. Beliau hanya membuat di rumah dibantu tiga orang dan kakak saya," jelas Utik, sambil melayani pembeli yang datang silih berganti.

Es dawet telasih tidak hanya berisi dawet, tetapi juga dilengkapi jenang atau bubur sumsum, ketan hitam, tape ketan, dan irisan nangka. Sajian bahan tadi diguyur air gula putih dan santan. Rasanya khas karena diberi selasih dan manis hingga ke sendokan terakhir. Agar lebih segar, sajian es dawet telasih diberi es batu.

Cendol pada es dawet telasih dibuat dari tepung beras yang diberi pewarna alami dari daun suji, sehingga berwarna hijau muda. Bentuknya sengaja tidak sebesar yang lainnya sehingga mampu menyerap manis air gula. Jenang sumsum yang gurih dan ketan hitam yang manis semakin melengkapi variasi rasa dawet telasih.

Es dawet telasih sejak awal dijual di salah satu sudut Pasar Gede, dan tidak pernah pindah. Pengunjung bisa menikmati dawet itu di situ sambil duduk di bangku panjang yang disediakan. Pembeli juga bisa memesan variasi kesukaannya, seperti tak pakai tape atau santan, agar lebih awet jika dibawa perjalanan jauh. Utik bercerita, pembelinya sering membawa es dawet telasih ke luar kota.

"Kami juga sering diminta pesanan dari luar kota untuk berbagai acara, seperti hajatan, pernikahan, dan lainnya. Kalau tempatnya jauh, kami membuat dawet di sana. Kalau dekat, kami membawanya dari Solo," tuturnya.

Untuk mempertahankan cita rasa es dawet telasih, Utik menggunakan bahan tradisional tanpa pengawet. Hasilnya, kini dalam sehari dia mampu menjual hingga 400 mangkok dawet dengan harga per porsi Rp 2.500. Saat Lebaran, sehari ia bisa menjual 1.000 mangkok.

No comments:

Post a Comment