Wednesday 19 November 2014

GUNAWAN SETIAWAN NGURI-URI ILMU BATIK

Kampung Kauman yang terletak tidak jauh dari Keraton Surakarta Hadiningrat sejak lama terkenal sebagai penghasil batik yang menelurkan banyak pengusaha sukses. Hingga kini, meski telah jauh berkurang jumlahnya, masih ada orang-orang yang meneruskan usaha batik. Salah satunya adalah Gunawan Setiawan.
Sebagai generasi ketiga, Gunawan Setiawan (35) bersama dua kakaknya, Muhyidin (45) dan Uswatun Hasanah (43), meneruskan usaha batik sepeninggal kedua orangtua mereka, Muhammad dan Siti Badriyah, pada tahun 1981. "Orangtua dulu juga mewarisi usaha dari orangtuanya," jelas Gunawan saat ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi ruang pamer dan tempat bekerja.
Awalnya, usaha batik keluarga ini menggunakan merek AS sebelum berganti menjadi Putra Mas dan sejak tahun 1972 oleh Muhammad diganti lagi menjadi Gunawan Setiawan, seperti nama anak bungsunya. Meski anak bungsu, Gunawan juga harus menjalani kerja keras yang ditanamkan keluarga sejak kecil. Mengumpulkan ceceran malam untuk digunakan kembali dan berjualan batik semasa sekolah adalah pekerjaan rutinnya.
Meskipun mengenyam pendidikan sarjana manajemen, namun arahan sejak awal untuk menjadi wiraswastawan, membuat Gunawan mantap memilih batik sebagai jalan hidupnya.
Kejujuran yang ditanamkan leluhurnya menjadi pegangan nomor satu dalam berusaha. "Kalau ada kain bolong, ya kita ungkapkan pada pembeli, meski itu akan mengurangi harga," jelas Gunawan.
Inovasi dan kreativitas dalam segala hal lantas menjadi kiat memenangkan persaingan usaha, mulai dari desain, proses pewarnaan, hingga pemasaran. Kebiasaan sang ayah yang rajin mencatat setiap hasil percobaannya dalam mencari formula warna batik, lalu ditirunya baik-baik. "Bapak sering mencatatnya di tembok, di tiang, dan di sembarang tempat yang terjangkau. Lalu disalin oleh ibu. Itu warisan buat kami yang nilainya tak terhingga," kata ayah empat anak ini.
Di saat perusahaan batik lain menutup rapat-rapat pintu mereka agar formula dan proses pewarnaannya tidak mudah ditiru, Gunawan justru sebaliknya. Ia justru membuka kesempatan lebar-lebar bagi mereka yang ingin belajar batik di tempatnya. "Saya mendapatkan ilmu batik secara "gratis" dari Bapak saya. Kenapa tidak saya tularkan kepada masyarakat. Saya khawatir jika ilmu ini hanya disimpan, batik lama-lama akan punah," ungkapnya.
Dampak positif yang tidak disangkanya, usaha menularkan ilmu ini justru menjadi investasi jangka panjang untuk menanamkan citra usahanya di benak masyarakat. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 2 Januari 2007

No comments:

Post a Comment