Wednesday 19 November 2014

APA ITU RUWATAN KUDA?


RINTIK hujan turun mengiringi pemilik kuda yang berdesakan dengan masyarakat, berebutan air ruwatan untuk diraupkan ke wajah mereka. Meski langit tetap terang, makin lama hujan makin deras mengawal pelaksanaan puncak upacara Suryo Jawi, yakni ruwatan kuda dan pemiliknya di lereng Gunung Lawu, Kamis (17/2).
Pangkal cemeti oleh pemimpin ruwatan, Ki Dalang Romo G Tundjungseto, dicelupkan ke dalam bejana berisi air kembang. Dalang membisikkan sesuatu kepada pemilik kuda lantas memberikan cemeti dan sebuah amplop putih, lalu mengusapkan air kembang ke pangkal hidung kuda.
Usai kuda ke-136, hujan yang tadinya turun deras lantas reda begitu saja. Bagi masyarakat, hujan deras itu menjadi simbol datangnya rezeki yang banyak di hari-hari mendatang.
Lancarnya rezeki ditambah keselamatan dalam kehidupan sehari- hari adalah tujuan pemilik kuda yang tergabung dalam Paguyuban Turangga Karya Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, yang mengikuti ruwatan.
Tak beda dari ruwatan biasanya, ruwatan kuda dan pemiliknya mengikuti beberapa proses, antara lain menyimak pergelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala yang berisi cerita perjalanan Bethara Kala.
Sebelumnya, rombongan kuda dan pemiliknya berjalan dalam rombongan dari daerah Pancot, sekitar 500 meter dari lokasi ruwatan di Camping Ground Lawu Resort, didahului kelompok reog dan seorang yang berpakaian seperti Gatotkaca.
Dalam jagad budaya Jawa, ruwatan biasa dilakukan untuk menghindari kejadian buruk. Sebagian masyarakat Jawa mempercayai, ada orang yang lahir dengan menyandang takdir buruk yang disebut sukerta dan sengkala.
Dalam Serat Centhini disebutkan ada 19 macam sukerta. Sedang dalam Serat Manikmaya ada 60 macam sukerta, serta Serat Murwakala menyebut 147 macam sukerta.
Tak hanya itu, sukerta juga bisa disebabkan perilaku manusia, antara lain menggulingkan dandang saat menanak nasi, tak mau beristirahat saat berjalan sendirian tepat tengah hari, atau tidak menyatukan dan mengikat serutan bambu usai menyisiknya.
Ruwatan acapkali lekat dengan kesan mistis atau klenik. Pengamat budaya dari Padepokan Lemah Putih Solo Suprapto Suryodarmo yang hadir dalam acara ini punya pandangan sendiri.
Menurutnya, ruwatan dapat dipandang sebagai bagian dari menyelaraskan diri dengan alam. "Ruwatan itu agar diselaraskan dengan alam. Orang zaman sekarang semakin sulit untuk memahami alam," jelasnya lagi. 

Tulisanku seperti termuat di Kompas (Jawa Tengah) 11 Februari 2005

No comments:

Post a Comment